Apakah fungsi agama di masa depan? Agaknya pertanyaan mendasar ini merangsang perhatian kita untuk menguak kembali hakikat agama-agama dunia. Jawaban yang bersifat sloganistik dari persoalan di atas barangkali tidak cukup memberi kepuasan untuk sebuah kajian yang relatif menghendaki penelusuran filsafati bentuk agama mana yang mampu memenuhi fungsinya di masa depan.
Maka dibutuhkan sebuah refleksi yang bergerak dalam medan pemikiran teologi Islam yang bersifat inklusif dan terbuka, yang dewasa ini telah dilakukan oleh Frithjof Schuon dan Sayyed Hossen Nasr.[1] Kedua tokoh ini yang mengilhami dan banyak memberi inspirasi pemikiran Nur Cholis Majid di Indonesia.
Sesunggunya yang khas bagi dunia modern adalah dampak “ekspansionistik” sains dan tehnologi seakan-akan menyingkirkan pertanyaan manusia yang paling mendasar tentang makna dan tujuan hidup. Dalam kaintannya dengan hal ini sebenarnya agama berfungsi menawarkan pengalaman makna hidup bagi manusia masa datang.[2] Dan di era globalisasi yang ditandai dengan tingkat kecanggihan teknologi ini, agama mulai dilihat kembali dibicarakan oleh banyak orang. Kendati masih banyak yang menilai bahwa dunia modern sekarang ini tidak lagi memiliki horizon spiritual.
Agama dapat melakukan fungsi itu apabila agama mengatasi ekslusifisme dan benar-benar berwujud humanistik. Yang pertama membentuk sebuah pola tindak dari refleksi keagamaan yang bersifat universal dan sikap “tepo seliro” bahwa ada entitas lain agama-agama di lingkungan manusia. Sedang kedua mencerminkan sebuah kesadaran tentang agama yang bersifat teosentris dan antroposentris yang sering dipahami dalam bentuk pertentangannya. Teosentrisisme tidak boleh hilang karena ia berpusat pada Allah, di satu sisi, dan wacana agama tentnag Allah hanya akan meyakinkan apabila sekaligus ia menjunjung tinggi martabat manusia, di sisi lain. Keduanya semestinya dipahami sebagai kesatuan makna yang tidak terpisahkan.
Agama hanya dapat diterima, pada jaman modern ini, dalam dua pengertian, apabila agama dapat memperlihatkan secara nyata bahwa mengiyakan Tuhan tidak berarti sekaligus menyangkal manusia dan sebaliknya ber-Tuhan justru berarti berpihak pada manusia dalam pengertian secara keseluruhan. Dalam tataran esoteris dan puncak-puncak peradaban kondisi itu akan memunculkan suatu pandangan keberagamaan eklektis dan sikap keberagamaan yang lebih humanistik-universal.[3]
Peranan agama dalam pembentukan kebudayaan dan sentralitas agama di dalamnya akan menentukan jenis kebudayaan itu. “Kebudayaan” dalam pengertian ini merupakan hasil kolaborasi antara kesadaran keagamaan, terlepas dari kualitas kesadaran itu, dengan dimensi-dimensi kemanusiaan alamiahnya, yang pada dasarnya agama menjadi sesuatu yang sentralistik yang mengandung kemutlakan dogma-dogma.[4]
Bentuk kesadaran itu, meminjam istilah Nasr, kesadaran sophia perenis yakni sebuah kesadaran yang melintasi batas eksklusifisme dalam memahami makna dan kehadiran agama, dan di samping pemahaman makna kesatuan titik temu agama-agama.[5] Pengertian ini mendorong pada sebuah refleksi bahwa dalam setiap agama dan tradisi-tradisi esoterik tersimpan pengetahuan dan pesan keagamaan yang sama, yang muncul ke dalam beragam nama dan dibungkus dalam banyak bentuk dan simbul.[6] Hal tersebut ditemui dalam tradisi agama-agama monoteisme yang hanya mengakui satu Tuhan yang menciptakan dan menguasai kosmos ini, selangkah lebih maju dari kandungan teologis ajaran Henoteime.[7]
Dalam perspektif ini masalah peka kemutlakan dan relativitas agama dapat diangkat, bahwa kemutlakan terletak pada substansi, dalam inti ajaran agama yang keberadaannya di balik bentuk “formal” agama-agama,[8] yang berarti bukan relativisme agama, seakan-akan semua agama sama. Akan tetapi jika the transcendent unity of religions[9] diakui wujud keagamaan historis dapat memancarkan substansi ilahiahnya. Pengahayatan ini agaknya menjadi positif, yakni mengandung keyakinan terhadap hakikat kebenaran yang seimbang antara meyakini agama sendiri sekaligus mengakui penghayatan keagamaan yang lain agama.
Penghargaan terhadap nilai-nilai luhur serta penekanan pada persamaan nilai-nilai itu dalam setiap penghayatan keagamaan berarti pula memfungsikan kembali agama pada titik yang paling dalam dari keyakinan akan kebenaran agama.[10] Meminjam istilah Jacques Derida ”la differance” dalam penghayatan kebenaran agamanya sendiri, orang akan sadar akan kebesaran Allah yang defferand, selalu lebih besar daripada keagamaan kita masing-masing.[11]
Pertanyaannya berlanjut, sejauhmana agama mampu menghadapi tantangan modernitas dengan menunjukkan dimensi-dimensi rasionalitasnya. Dan apakah ada jalan terang yang lebih rasional bagi upaya mengatasi problematika keberagamaan yang telah lama terdesakralisasi dalam diri seorang penganut agama-agama, tanpa mengurangi keimanan terhadap agamanya atau menghilangkan keyakinan kebenaran agama yang diyakini? Adalah tugas bersama kita sekarang ini untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut. Mampukah?
[1] Lihat, Frithjof Schuon, Islam dan Filsafat Perenial, alih bahasa Rahmani Astuti, cet. I (Bandung: Mizan, 1993) dan Sayyed Hossen Nasr,
[2] Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial, cet. I (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1995), h. 113.
[3] Ibid., h. 117.
[4] Harun Nasaution, “Tinjauan Filosofis tentang Pembentukan Kebudayaan dalam Islam,” dalam Abdul Basir Solissa, dkk., Alquran dan Pembinaan Budaya, cet. I (Yogyakarta: LESFI, 1994), h. 15-16.
[5] Kata pengantar Sayyed Hossen Nasr dalam Schuon, Islam dan .., h. 9.
[6] Schuon, Islam dan .., h. 25 dan lihat, Komaruddin Hidayat .., Agama Masa Depan .., h. 54-55.
[7] Sebenarnya aliran ini sudah meyakini dan mengakui adanya satu Tuhan, hanya saja ajaran ini tidak mengakui bahwa ada Tuhan dalam agama-agama lain. Ajaran ini banyak dianut bangsa Yahudi sebelum bangsa ini pada tahap selanjutnya menganut ajaran monoteisme. Lihat, Harun Nasution, Filsafat Agama, cet. III (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 36-38.
[8] Komaruddin Hidayat .., Agama Masa Depan .., h. 53.
[9] Ibid., h. 12.
[10] Ibid., h. 117.
[11] Lihat, Walter H. Capps, Religious Studies, The Making of a Discipline, (Minneapolis: Augsburg Fortress, 1995), h. 239-242.