Kita
sering mendengar istilah “tantangan modern” atau “tantangan global,” suatu
ungkapan yang banyak digunakan untuk menggambarkan kompleksitas persoalan yang
dihadapi manusia modern, utamanya menghadapi millennium ketiga mendatang.
Kompleksitas permasalahan tersebut tampak lebih nyata jika kita memperhatikan
fenomena budaya masyarakat dunia sekarang. Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi tampaknya memang membawa kemanjuan di seluruh lini kehidupan. Namun
tidak dapat dihindari pula, kemajuan-kemajuan itu juga yang membawa manusia
menuju kehancurannya. Kondisi semacam ini sesungguhnya merupakan salah satu
indikasi bahwa, sesuai dengan perjalanan waktu, manusia senantiasa dihadapkan pada
“perubahan-perubahan” sistem dunia yang berlangsung sedemikian cepatnya.
Akselerasi
perubahan pada wilayah kebudayaan dan teknologi, misalnya, yang dapat
diindikasikan melalui adanya perubahan-perubahan pada sistem sosial-politik dan
ekonomi dunia, membawa dampak kepada tidak saja depresi dunia. Akan tetapi
dapat pula sebaliknya, membangkitkan kesadaran umat manusia untuk berusaha
mencari jabawan yang memadai atas persoalan-persoalan yang muncul. Belum lagi
jika dihadapkan pada persoalan yang berkaitan dengan masalah ideologi.
Persoalan ini sungguh sensitif terhadap konflik, yang berupa klaim kebenaran
suatu ideologi atas ideologi lain. Apalagi jika ideologi tersebut dikaitkan
dengan agama, maka persoalan akan menjadi semakin rumit dan sulit dijelaskan.
Uraian
sederhana tersebut sesungguhnya ingin mengatakan bahwa manusia modern mendatang
masih dihadapkan pada persoalan-persoalan sosial-kemanusiaan dan laju
perkembangan teknologi yang sulit dibendung. Yang menyangkut persoalan
demokrasi dan pelanggaran hak-hak asasi manusia, globalisasi dan pasar bebas (free-trade),
hegemoni agama atas kebudayaan dan sebaliknya, dan lain sebagainya. Selain itu,
harus berhadapan pula dengan masalah moralitas, sebagai penyebab terjadinya
ekploitasi manusia atas manusia, juga ekploitasi besar-besaran dan
penyelewengan sumber-sumber alam, sehingga semakin mempertajam keterpurukan
manusia.
Dalam
situasi yang demikian, jika kita menengok pada dinamika yang terjadi dalam
masyarakat Islam, muncul sebuah pertanyaan yang sangat mendasar: apakah umat
Islam, dengan seluruh warisan budayanya dan perangkat nilai-nilai ajarannya,
mampu menghadapi tantangan modernitas yang semakin mengglobal? Berkaitan dengan
ini, sesungguhnya memang telah menjadi pemikiran bersama kita bahwa kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi menjanjikan kondisi dan kehidupan yang lebih baik
bagi umat manusia, akan tetapi pada perkembangan selanjutnya, ilmu pengetahuan
dan teknologi tidak lagi dapat memberikan jawaban yang memadai terhadap
perubahan jaman yang berlangsung tiada berhenti. Perkembangan masyarakat
menuntut hal lain sehingga manusia secara berbondong-bondong mulai melirik
agama sebagai alternatif-paradigmatis dalam menjawab tantangan modernitas.
Dengan harapan agama dapat memberikan nuansa spiritual baru sehingga mampu
melahirkan sebuah paradigma baru “akomodatif” terhadap perubahan.
Apabila
dicermati secara seksama, kita mengingat kembali bagaimana kultur Barat telah
melintasi dan mendominasi alam berpikir umat Islam, serta telah melampaui
batas-batas peradaban Islam. Kita melihat bagaimana kultur Barat dengan
ideologi sekularismenya mampu membentuk pola pikir dan pola tindak umat Islam
yang cenderung dikotomis terhadap masalah “duniawiyah” vis a vis
“ukhrawiyah.” Dalam konteks yang demikian yang dibutuhkan oleh umat Islam
sesungguhnya adalah suatu kesadaran kolektif bahwa umat Islam memang tergolong
terbelakang dalam soal-soal ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa adanya
kesadaran ini barangkali akan sulit membuat peta permasalahan yang
sesungguhnya, yang tengah melanda umat Islam. Namun jika umat Islam telah
mengetahui pokok persoalan dan potensi yang dapat dikembangkan, tentu akan
lebih mudah untuk mengetahui lebih jauh sejauhmana posisi umat Islam dalam
percaturan perubahan global dunia.
Dengan
kesadaran akan ketertinggalan tersebut, yang diharapkan kemudian adalah mencoba
untuk bersama-sama merumuskan paradigma baru yang berlandaskan pada spitrit dan
prinsip Islam. Dalam artian bahwa paradigma itu merupakan hasil dari dialektika
sepanjang kesejarahan umat Islam, yang bercorak holistis dan integratif dalam
cara memandang dunia. Atau dengan perkataan lain, sudah tidak relevan lagi bagi
umat Islam untuk melihat kehidupan ini sebagai sesuatu yang terpisah dengan
dimensi spiritual, sebagaimana yang pernah berkembang dalam peradaban Barat.
Secara
lebih jelas, barangkali dapat dikatakan bahwa paradigma yang dibutuhkan umat
Islam adalah paradigma murni yang meliputi kesadaran terhadap hakikat dan
eksistensi manusia sebagai delegasi Tuhan di bumi, dimana ia merupakan bagian
integral dari hakikat penciptaan alam. Kesadaran mengenai hakikat Tuhan yang
memberi ruh bagi kehidupan manusia dan alam, yang menciptakan kesatuan watak
kebudayaan manusia. Pada tataran berikutnya, kesadaran ini muncul dalam
bentuknya yang paling aktual dimana ia menjadi semacam “kesadaran murni”
masyarakat Islam dalam bergelut dengan realitas kehidupan. Dalam bentuknya yang
paling nyata merupakan upaya untuk membangkitkan sebuah gerakan-gerakan sosial
yang, tanpa mengingkari adanya pluralitas, dibingkai dalam kesatuan budaya.
Paradigma
di atas barangkali mudah dipahami ketika kita mencoba untuk melihat bagaiamana
proses modernisasi itu berlangsung dan berkembang. Sejarah telah menjelaskan
bahwa umat Islam, sejak kelahirannya ketika Muhammad membangun sebuah
masyarakat negara di Madinah hingga perkembangannya pada masa modern sekarang,
baik itu negara-negara Islam maupun negara yang penduduknya mayoritas beragama
Islam. Kita juga menyaksikan umat Islam dalam rentang sejarahnya yang begitu
panjang, telah membangun sebuah peradaban yang khas Islam, dimana umat Islam
telah mampu menggoreskan sejarah emasnya hingga bahkan kehancurannya pada akhir
masa Abbasiyah. Sampai kepada ketika umat bersinggungan secara langsung dengan
peradaban Barat yang melahirkan peradaban modern.
Ketika
umat Islam semakin inten melakukan dialog-dialog dengan kebudayaan di luar
Islam, semakin dirasakan bahwa umat Islam adalah satu bagian dari masyarakat
dunia yang tengah bergerak dalam proses perubahan. Dalam konteks yang demikian,
dialog-dialog itu semakin perlu dipertajam sebagai upaya untuk bersama-sama
dengan masyarakat (agama) lain dalam membangun sebuah paradigma baru yang
dimaksud. Karenanya, kita sering mendengar munculnya istilah-istilah seperti
“dialog-dialog kebudayaan,” “dialog agama-agama,” dan seterusnya. Hanya saja,
persoalan yang muncul kemudian adalah bahwa dialog-dialog yang telah dilakukan
masih belum dilakukan secara mendalam dan belum menyentuh kepada tataran
kesadaran bersama umat manusia. Oleh sebab itu, kesadaran terhadap adanya
perbedaan budaya merupakan poin utama dalam masalah ini.
Tantangan
dunia modern mendatang semakin dipahami sebagai persoalan yang menjadi tuntutan
bersama umat manusia, dimana umat Islam turut andil didalamnya. Ini mengandung
pengertian bahwa paradigma kolektif umat manusia, dengan seluruh implikasinya,
termasuk upaya dialog-dialog, pun menjadi tanggung jawab bersama umat manusia.
Bagi umat Islam, upaya memciptakan sebuah paradigma baru tersebut masih sulit
diwujudkan manakala umat Islam sendiri belum mampu menciptakan kesadaran
bersama internal umat Islam mengenai persoalan-persoalan yang memicu perpecahan
dunia Islam. Artinya, perdebatan mengenai, misalnya, Islam politik/negara
versus politik Islam/negara, Islam idelogis (baca: struktural) versus Islam
kultural dan semacamnya, sudah tidak relevan untuk dijadikan kambing hitam
dalam membangun masyarakat “madani” dan “demokratis.” Persoalan-persoalan
tersebut justeru menjadi pemicu bagi upaya menumbuhkan kesadaran akan perbedaan
dan pluralitas pemikiran di kalangan umat Islam sendiri. Karena kesadaran yang
sama akan menjadi semacam pra-syarat bagi umat Islam dalam memahami kebudayaan
maupun sistem kepercayaan lain di luar Islam.
Mengacu
pada pemikiran di atas, upaya dialog di kalangan umat Islam sendiri menjadi
titik pijak yang penting untuk membangkitkan semangat “belajar bersama” dalam
membina masyarakat yang dinamis, yang dapat memahami pluralitas. Upaya ini
hanya dapat ditempuh manakala umat Islam mampu menciptakan sikap-sikap yang terbuka
dan kooperatif tanpa mengedepankan kecurigaan-kecurigaan yang berlebihan.
Apalagi dalam suasana dimana batas-batas negara semakin kabur, umat Islam mau
tidak mau harus membuka peluang terhadap proses kulturisasi yang dipandang
sejalan dengan sistem budaya yang dianut oleh suatu masyarakat Islam.
Karenanya, paradigma yang mencerminkan adanya kesadaran dan pemahaman terhadap
nilai-nilai universal Islam: prinsip-prinsip ketuhanan, keadilan, ukhuwah dan
kerjasama menjadi hal yang patut diperhatikan.
Nilai-nilai
universal yang dimaksud adalah dipahami sebagai nilai-nilai yang berlaku umum
bagi keseluruhan umat manusia, dengan tidak disertai penilaian maupun klaim
bahwa nilai-nilai yang dianut oleh agama-agama maupun kebudayaan bukan Islam
seluruhnya adalah keliru. Disamping juga pemahaman terhadap nilai-nilai yang
dianggap hanya dapat diterapkan pada masyarakat tertentu, bersifat
partikulristik. Pandangan yang demikian, membawa umat Islam untuk tidak
terjerembab ke dalam jebakan-jebakan dikotomis-figuratif terhadap
perbedaan-perbedaan yang ada. Sehingga pertengkaran yang berkepanjangan dapat
dihindari. Maka melalui pemahaman yang holistis dan integratif terhadap
fenomena-fenomena tersebut akan penting artinya bagi umat Islam dalam
menampilkan baik gagasan-gagasan Islam maupun kebudayaannya dalam konteks
membangun universalitas kesadaran kolektif umat manusia.
Jika
tidak, yang terjadi adalah umat manusia akan selalu merasakan kepenatan dunia
yang penuh kegelisahan dan permusuhan. Sebagai bagian dari masyarakat dunia,
kaum muslim memiliki tanggung jawab yang tidak ringan untuk selalu pengembangan
pola berpikir dan bersikap yang sesuai dengan tuntutan jaman, dengan berpusat
pada prinsip-prinsip Islam, dalam menghadapi tantangan modern. Pola pikir dan
pola tindak yang sesuai dengan tuntutan jaman bukan dalam pengertian fragmatis
semata, yang menggiring pada sifat-sifat ketergantungan terhadap
“kecenderungan” jaman. Namun lebih mengacu, dengan berpusat pada “prinsip,”
kepada kemampuan mengatur dan mengendalikan perubahan-perubahan dunia untuk
upaya perdamaian dan kesejahteraan kehidupan umat manusia.
Dengan
begitu, tantangan modern yang dihadapi umat Islam, yang ditandai dengan adanya
semakin kabur dan tidak jelasnya batas-batas kultural, yang juga meliputi
batas-batas negara-bangsa, bagaimanapun memaksa umat Islam untuk dapat bersikap
lebih arif dan bijaksana. Maksudnya, umat Islam dituntut untuk lebih bersikap
terbuka dan berusaha memahami “orang lain.” Karena, untuk melakukan “kerjasama
kebudayaan” tidak ada alternatif lain kecuali dengan sikap-sikap memahami orang
lain. Sementara upaya tersebut harus dilakukan dengan suatu pendekatan yang
mengacu pada paradigma “kesadaran kolektif umat manusia,” yang didasarkan pada
nilai-nilai dan prinsip-prinsip universal Islam.