Ijtihad merupakan
persoalan yang sangat signifikan. Ijtihad, mengacu pada Moehammad Arkoun,
merupakan bahasan yang segala dimensinya bukan alang kepalang sulitnya untuk
diuraikan, namun lebih gawat lagi masalah ijtihad dalam tradisi pemikiran Islam
dianggap sebagai hak istimewa dan monopoli para ahli hukum. Persoalan penting
ini, dalam perkembangan pemikiran Hukum Islam, memunculkan beberapa pandangan,
yakni: pertama, pandangan yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah
tertutup; kedua, bahwa pintu ijtihad tidak akan pernah tertutup, dan ketiga,
tidak ada ketegasan antara kedua pandangan apakah ijtihad telah tertutup atau
tidak.
Permasalahan
pertama, bahwa ijtihad telah tertutup, menimbulkan implikasi yang akut terhadap
perkembangan hukum Islam, terutama dalam hal kebebasan melakukan ijtihad di
antara kaum Muslim, dimana hal tersebut pernah dialami kaum Muslim dalam periodesasi sejarah perkembangannya
yang kita sebut dengan periode taqlid. Dalam periode ini, semangat
ijtihad mutlak mengalami kemadegan di kalangan para ulama. Demikian pula
semangat untuk kembali kepada sumber-sumber pembentukan hukum yang asasi untuk
mengembangkan hukum-hukum dari nas-nas Alquran dan Sunnah, dan istinbat bagu
hukum-hukum perkara yang tidak ada nas-nya, dengan dalil apapun dari
dalil-dalil syari’. Dan mereka hanya mengikuti hasil ijtihad
dari ulama-ulama mujtahidin pendahulunya.
Periode taqlid,
kira-kira berawal pada masa pertengahan abad IV H, ketika kaum Muslim sedang
mengalami berbagai gejolak poitik, intelektual dan sosial, yang membawa
pengaruh terhadap aspek-aspek kebangkitan mereka dan menghalangi aktivitas
mereka dalam pembentukan hukum yang mengarah pada kemerosotan. Kreatifitas
berpikir di kalangan umat Islam berhenti sehingga timbul taqlid dan membelenggu
dirinya dalam pemikiran ulama-ulama sebelumnya, terutama imam yang empat, Abu
Hanifah, Imam Malik Asy-Syafi’i dan Ahmad. Apapun ketentuan yang di luar ketentuan
keempat imam itu dianggapnya keluar dari Islam.
Melemahnya Gerakan
Ijtihad
Faktor-faktor
penting yang menyebabkan kemandegan gerakan ijtihad, antara lain: pertama,
terbaginya daulat Islamiyah ke dalam sejumlah kerajaan yang saling bertikai.
Secara politis ini menimbulkan pertentangan antara penguasa kerajaan-kerajaan
yang diwarnai dengan peperangan yang tidak pernah berhenti, yang pada
gilirannya kemunduran di bidang ilmu, kesenian. Kejatuhan khalifah Bani
Abbasiyah, membuat situasi politik dunia Islam mengalami instabilitas, sehingga
konsentrasi para cendikiawan saat itu diarahkan pada persoalan-persoalan
politik, sedang masalah hukum mereka cukup puas dengan hasil ijtihad
ulama-ulama sebelumnya tanpa reserve.
Kedua, perpecahan di
kalangan ulama ke dalam berbagai macam golongan. Sehingga secara edukatif tidak
ada keseragaman dan kesepakan dalam bidang keilmuan, dan akhirnya memunculkan
sikap eksklusifisme atau fanatisme golongan dan klaim kebenaran atas golongan
atau mazhabnya sendiri. Pengaruh dari peyebaran mazhab membuat orang pasif untuk
berpikir, untuk menggali hukum dari sumber aslinya Alquran dan Sunnah, Kalaupun
ada hanya untuk mengadakan pembelaan atas mazhabnya.
Ketiga, tidak adanya
persatuan dalam memberikan fatwa hukum yang cenderung disebabkan oleh tidak
adanya kepastian hukum sehingga umat menjadi bingung dalam menetukan pilihan
panutannya. Ini terjadi karena telah terjadi krisis akhlak di kalangan para
ulama, dalam artian semua orang merasa berhak mengeluarkan fatwa sehingga
banyak produk-produk hukum yang bersifat asal-asalan.
Keempat, pengaruh ajaran
mistik yang berkembang seiring dengan krisis kepercayaan terhadap fatwa-fatwa
para ulama, menimbulkan gelombang perpindahan ketertarikan umat Islam kepada
al-hal yang bersifat mistik, sehingga posisi ini menggantikan fungsi dari
ijtihad. Di samping itu pengaruh aliran-aliran filsafat dan ajaran-ajaran
non-Islam yang kuat mempengaruhi kehidupan umat Islam saat itu cukup menghentak
sendi-sendi ijtihad yang telah dibangun para ulama sebelumnya.
Optimisme yang
Tersisa
Kendati faktor-faktor
di atas telah mematikan gairah ijtihad pada periode tersebut, akan tetapi pada
ulama-ulama tertentu tidak menjadikan aktifitas ijtihad mereka berhenti secara
total. Masih ada optimisme di kalangan ulama yang tidak terpengaruh oleh
kondisi-kondisi sebagaimana digambarkan di muka. Walaupun ini hanya terjadi
pada sebagian kecil sekali ulama-ulama. Dalam hal ini terdapat beberapa
pengelompokan dan tahapan yang menjadi ciri-ciri ijtohad mereka.
Pertama, yakni mereka yang
berijtihad dalam kejadian-kejadian dari pokok-pokok ijtihad yang telah
digariskan oleh ulama-ulama yang semazhab, bukan pada pada tataran hukum syar’i dengan
ijtihad mutlak. Tidak sedikit yang telah menyimpang dari ajaran mazhab mereka
sendiri, seperti dilakukan Hasan ibn Ziyad dari mazhab Hanafi dan Ibnu al-Qasim
dan Asyhab dari Mazhab Maliki, serta Buwaiti dan Muzani dari kalangan mazhab
Syafi’i.
Mereka menetapkan diri agar penembangan hukum sesuai dengan para ulama pengikut
mereka, dasar mereka sama seperti ulama-ulama tersebut.
Kedua, yakni mujtahid di
dalam masalah-masalah yang tidak ada riwayat dari Imam mazhabnya. Mereka ini
tidak menyalai imam-imam mereka di dalam hukum-hukum cabang maupun pokok-pkok
ijtihad, kan tetapi hanya beristinbat hukum bagi masalah yang tidak ada
riwayatnya menurut pokok-pokok imam-imam mereka dan dengan mengkiaskan kepada
hukum-hukum cabang mereka yang telah ada. Dapat dideret misalnya, Khashaf,
Tahawi dan Al-Karkhi dari pengikut mazhab Hanafi; Lakhmi, Ibn al-Arabi dan Ibn
Rasyid dari pengikut mazhab Maliki; Abi Hamid al-Ghazali dan Abi Ishak
al-Asfarayini dari mazhab Syafi’i.
Yang ketiga
adalah golongan ahli takhrij, yang tidak melakukan ijtihd dalam
mengistinbatkan hukum-hukum berbagai masalah tetapi, karena penguasaan mereka
pada dasar-dasar mazhab yang dianutnya dan sumber-sumber pengambilannya, mereka
tidak mengeluarkan sebab-sebab hukum-hukumnya dan prinsip-prinsip hukum
tersebut, dan karenanya, mereka membatasi ijtihadnya dalam menafsiri
ucapan-ucapan imamnya yang mujmal, atau menyatakan arah-arah tertentu bagi
hukum yang mengandung kemungkinan (muhtamil) dua arah. Mereka berusaha
menghilangkan kesamaran dan kegelapan yang terdapat pda ucapan-ucapan dan
hukum-hukum imam mereka. Di antara tokohnya, seperti Jassas dan lainnya dari
pengikut mazhab Hanafi.
Keempat, golongan ahli tarjih,
yakni yang membandingkan antara yang diriwyatkan imam-imam mereka dengan
riwayat lain, kemudian diadakan pentarjihan antara satu riwayat dengan riwayat
lain atau ditinjau dari segi dirayahnya untuk menentukan riwayat yang
lebih sah atau lebih sesuai qias atau labih sesuai dengan martabat
manusia. Di antara dari mereka, misalnya, Al-Qaduri dan pengarang al-Hidayah
serta ulama-ulama lain dari kalangan mazhab Hanafi.
Kelima, dari kalangan ahli
taqlid semata-mata, yakni membeda-bedakan antara riwayat yang implisit dengan
yang eksplisit, dan antara dalil-dalil yang kuat dengan yang lemah.
Tokohnya adalah para pengarang matan yang masyhur di kalangan
mazhab Hanafi, seperti pengarang al-Kanzu dan Wiqayah.
Dengan demikian
dapat disebutkan bahwa kesungguhan para ulama dalam pembentukan hukum periode
taqlid ini, diarahkan pada ucapan-ucapan dan hukum-hukum imam-imam mazhab, dan
mereka dianggap sebgai ganti dalam melihat nas-nas hukum dan sebab-sebabnya,
dan mencari jalan di antara dalil-dalil yang secara eksplisit bertentangan, dan
intinbat hukum-hukum dari dalil-dalil hukum tersebut. Maka mereka membatasi
pandangan mereka kepada pandangan imam-imam mereka saja.
Bahan Bacaan.
Ali, K., Sejarah
Islam (Tarikh Pramodern), alih bahasa Ghufron A. Mas’adi, cet. I (Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 1996).
Arkoun, Mohammaed.,
“Islam dan Kemodernan, Masalah Ijtihad,” dalam Mohammed Arkoun, Nalar
Islami dan Nalar Modern, Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, cet. I
(Jakarta: INIS, 1994).
Hitti, Philip K., Dunia
Arab, alih bahasa Usuludin Hutagalung dan Sihombing, cet. IV (Bandung N.V.
Mij Vorkink-Van Hoeve, t.t.).
Matdawan, M. Noor, Dinamika
Hukum Islam (Tinjauan Sejarah Perkembangannya), cet. I (Yogyakarta: LP5BIP,
1985).
Rahman, Fazlur,
Membuka Pintu Ijtihad, alih bahasa Anas Mahyudin, cet. I (Bandung: Penerbit
Pustaka, 1983).