Minggu, 08 September 2013

Ijtihad pada Periode Taqlid


Ijtihad merupakan persoalan yang sangat signifikan. Ijtihad, mengacu pada Moehammad Arkoun, merupakan bahasan yang segala dimensinya bukan alang kepalang sulitnya untuk diuraikan, namun lebih gawat lagi masalah ijtihad dalam tradisi pemikiran Islam dianggap sebagai hak istimewa dan monopoli para ahli hukum. Persoalan penting ini, dalam perkembangan pemikiran Hukum Islam, memunculkan beberapa pandangan, yakni: pertama, pandangan yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup; kedua, bahwa pintu ijtihad tidak akan pernah tertutup, dan ketiga, tidak ada ketegasan antara kedua pandangan apakah ijtihad telah tertutup atau tidak.

Permasalahan pertama, bahwa ijtihad telah tertutup, menimbulkan implikasi yang akut terhadap perkembangan hukum Islam, terutama dalam hal kebebasan melakukan ijtihad di antara kaum Muslim, dimana hal tersebut pernah dialami kaum Muslim  dalam periodesasi sejarah perkembangannya yang kita sebut dengan periode taqlid. Dalam periode ini, semangat ijtihad mutlak mengalami kemadegan di kalangan para ulama. Demikian pula semangat untuk kembali kepada sumber-sumber pembentukan hukum yang asasi untuk mengembangkan hukum-hukum dari nas-nas Alquran dan Sunnah, dan istinbat bagu hukum-hukum perkara yang tidak ada nas-nya, dengan dalil apapun dari dalil-dalil syari. Dan mereka hanya mengikuti hasil ijtihad dari ulama-ulama mujtahidin pendahulunya.

Periode taqlid, kira-kira berawal pada masa pertengahan abad IV H, ketika kaum Muslim sedang mengalami berbagai gejolak poitik, intelektual dan sosial, yang membawa pengaruh terhadap aspek-aspek kebangkitan mereka dan menghalangi aktivitas mereka dalam pembentukan hukum yang mengarah pada kemerosotan. Kreatifitas berpikir di kalangan umat Islam berhenti sehingga timbul taqlid dan membelenggu dirinya dalam pemikiran ulama-ulama sebelumnya, terutama imam yang empat, Abu Hanifah, Imam Malik Asy-Syafii dan Ahmad. Apapun ketentuan yang di luar ketentuan keempat imam itu dianggapnya keluar dari Islam.

 

Melemahnya Gerakan Ijtihad

Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemandegan gerakan ijtihad, antara lain: pertama, terbaginya daulat Islamiyah ke dalam sejumlah kerajaan yang saling bertikai. Secara politis ini menimbulkan pertentangan antara penguasa kerajaan-kerajaan yang diwarnai dengan peperangan yang tidak pernah berhenti, yang pada gilirannya kemunduran di bidang ilmu, kesenian. Kejatuhan khalifah Bani Abbasiyah, membuat situasi politik dunia Islam mengalami instabilitas, sehingga konsentrasi para cendikiawan saat itu diarahkan pada persoalan-persoalan politik, sedang masalah hukum mereka cukup puas dengan hasil ijtihad ulama-ulama sebelumnya tanpa reserve.

Kedua, perpecahan di kalangan ulama ke dalam berbagai macam golongan. Sehingga secara edukatif tidak ada keseragaman dan kesepakan dalam bidang keilmuan, dan akhirnya memunculkan sikap eksklusifisme atau fanatisme golongan dan klaim kebenaran atas golongan atau mazhabnya sendiri. Pengaruh dari peyebaran mazhab membuat orang pasif untuk berpikir, untuk menggali hukum dari sumber aslinya Alquran dan Sunnah, Kalaupun ada hanya untuk mengadakan pembelaan atas mazhabnya.

Ketiga, tidak adanya persatuan dalam memberikan fatwa hukum yang cenderung disebabkan oleh tidak adanya kepastian hukum sehingga umat menjadi bingung dalam menetukan pilihan panutannya. Ini terjadi karena telah terjadi krisis akhlak di kalangan para ulama, dalam artian semua orang merasa berhak mengeluarkan fatwa sehingga banyak produk-produk hukum yang bersifat asal-asalan.

Keempat, pengaruh ajaran mistik yang berkembang seiring dengan krisis kepercayaan terhadap fatwa-fatwa para ulama, menimbulkan gelombang perpindahan ketertarikan umat Islam kepada al-hal yang bersifat mistik, sehingga posisi ini menggantikan fungsi dari ijtihad. Di samping itu pengaruh aliran-aliran filsafat dan ajaran-ajaran non-Islam yang kuat mempengaruhi kehidupan umat Islam saat itu cukup menghentak sendi-sendi ijtihad yang telah dibangun para ulama sebelumnya.


Optimisme yang Tersisa

Kendati faktor-faktor di atas telah mematikan gairah ijtihad pada periode tersebut, akan tetapi pada ulama-ulama tertentu tidak menjadikan aktifitas ijtihad mereka berhenti secara total. Masih ada optimisme di kalangan ulama yang tidak terpengaruh oleh kondisi-kondisi sebagaimana digambarkan di muka. Walaupun ini hanya terjadi pada sebagian kecil sekali ulama-ulama. Dalam hal ini terdapat beberapa pengelompokan dan tahapan yang menjadi ciri-ciri ijtohad mereka.

Pertama, yakni mereka yang berijtihad dalam kejadian-kejadian dari pokok-pokok ijtihad yang telah digariskan oleh ulama-ulama yang semazhab, bukan pada pada tataran hukum syari dengan ijtihad mutlak. Tidak sedikit yang telah menyimpang dari ajaran mazhab mereka sendiri, seperti dilakukan Hasan ibn Ziyad dari mazhab Hanafi dan Ibnu al-Qasim dan Asyhab dari Mazhab Maliki, serta Buwaiti dan Muzani dari kalangan mazhab Syafii. Mereka menetapkan diri agar penembangan hukum sesuai dengan para ulama pengikut mereka, dasar mereka sama seperti ulama-ulama tersebut.

Kedua, yakni mujtahid di dalam masalah-masalah yang tidak ada riwayat dari Imam mazhabnya. Mereka ini tidak menyalai imam-imam mereka di dalam hukum-hukum cabang maupun pokok-pkok ijtihad, kan tetapi hanya beristinbat hukum bagi masalah yang tidak ada riwayatnya menurut pokok-pokok imam-imam mereka dan dengan mengkiaskan kepada hukum-hukum cabang mereka yang telah ada. Dapat dideret misalnya, Khashaf, Tahawi dan Al-Karkhi dari pengikut mazhab Hanafi; Lakhmi, Ibn al-Arabi dan Ibn Rasyid dari pengikut mazhab Maliki; Abi Hamid al-Ghazali dan Abi Ishak al-Asfarayini dari mazhab Syafii.

Yang ketiga adalah golongan ahli takhrij, yang tidak melakukan ijtihd dalam mengistinbatkan hukum-hukum berbagai masalah tetapi, karena penguasaan mereka pada dasar-dasar mazhab yang dianutnya dan sumber-sumber pengambilannya, mereka tidak mengeluarkan sebab-sebab hukum-hukumnya dan prinsip-prinsip hukum tersebut, dan karenanya, mereka membatasi ijtihadnya dalam menafsiri ucapan-ucapan imamnya yang mujmal, atau menyatakan arah-arah tertentu bagi hukum yang mengandung kemungkinan (muhtamil) dua arah. Mereka berusaha menghilangkan kesamaran dan kegelapan yang terdapat pda ucapan-ucapan dan hukum-hukum imam mereka. Di antara tokohnya, seperti Jassas dan lainnya dari pengikut mazhab Hanafi.

Keempat, golongan ahli tarjih, yakni yang membandingkan antara yang diriwyatkan imam-imam mereka dengan riwayat lain, kemudian diadakan pentarjihan antara satu riwayat dengan riwayat lain atau ditinjau dari segi dirayahnya untuk menentukan riwayat yang lebih sah atau lebih sesuai qias atau labih sesuai dengan martabat manusia. Di antara dari mereka, misalnya, Al-Qaduri dan pengarang al-Hidayah serta ulama-ulama lain dari kalangan mazhab Hanafi.

Kelima, dari kalangan ahli taqlid semata-mata, yakni membeda-bedakan antara riwayat yang implisit dengan yang eksplisit, dan antara dalil-dalil yang kuat dengan yang lemah. Tokohnya adalah para pengarang matan yang masyhur di kalangan mazhab Hanafi, seperti pengarang al-Kanzu dan Wiqayah.

Dengan demikian dapat disebutkan bahwa kesungguhan para ulama dalam pembentukan hukum periode taqlid ini, diarahkan pada ucapan-ucapan dan hukum-hukum imam-imam mazhab, dan mereka dianggap sebgai ganti dalam melihat nas-nas hukum dan sebab-sebabnya, dan mencari jalan di antara dalil-dalil yang secara eksplisit bertentangan, dan intinbat hukum-hukum dari dalil-dalil hukum tersebut. Maka mereka membatasi pandangan mereka kepada pandangan imam-imam mereka saja.

 

Bahan Bacaan.

Ali, K., Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), alih bahasa Ghufron A. Masadi, cet. I (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1996).

Arkoun, Mohammaed., “Islam dan Kemodernan, Masalah Ijtihad,” dalam Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern, Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, cet. I (Jakarta: INIS, 1994).

Hitti, Philip K., Dunia Arab, alih bahasa Usuludin Hutagalung dan Sihombing, cet. IV (Bandung N.V. Mij Vorkink-Van Hoeve, t.t.).

Matdawan, M. Noor, Dinamika Hukum Islam (Tinjauan Sejarah Perkembangannya), cet. I (Yogyakarta: LP5BIP, 1985).

Rahman, Fazlur, Membuka Pintu Ijtihad, alih bahasa Anas Mahyudin, cet. I (Bandung: Penerbit Pustaka, 1983).