Rabu, 12 Januari 2011

Ilmu, Teknologi dan Kebudayaan

Jika dicermati secara sepintas antara ilmu, teknologi dan kebudayaan memiliki hubungan yang sangat erat. Hubungan tersebut dapat dipahami dalam bingkai yang sangat luas dari kehidupan manusia. Membicarakan hubungan istilah-istilah tersebut sesungguhnya dapat ditelusuri dengan memahami terlebih dahulu pengertian masing-masing istilahnya. Dengan ungkapan lain, dapat disebutkan ketiga istilah itu berkaitan secara definitif. Dalam sudut pandang yang demikianlah makalah sederhana ini ingin mengurai bagaimana ketiga istilah itu saling berhubungan.
Sebelum membicarakan kesaling-hubungan antara ilmu, teknologi dan kebudayaan dalam konteks sebagaimana disebut di atas, hal bijaksana yang perlu dilakukan adalah merumuskan definisi antara ketiga istilah di atas, secara berturut-turut sebagai berikut. Kendati telah banyak pakar yang mencoba mendefinikan ilmu, namun setidaknya definisi atau rumusan yang mengatakan bahwa ilmu merupakan produk dari aktifitas dan proses berpikir manusia dalam mencari kebenaran dengan menggunakan prosedur atau metode tertentu, sehingga diperoleh pengetahuan yang sistematik dan logis, dapat dianggap cukup representatif.
Hal penting yang patut diperhatikan dalam pengertian ilmu di atas adalah bahwa istilah tersebut merujuk pada serangkaian aktivitas yang memiliki tujuan tertentu dan dilakukan dengan kesadaran.Aktivitas yang dimaksud adalah segala kegiatan dan proses yang dialami oleh seorang peneliti dalam membangun pengetahuan ilmiah. Secara sistematis pengertian ilmu ini sesungguhnya menyangkut tiga hal, yakni: produk, proses dan prosedur. Jika ilmu diperbicarakan pada tataran hasil dari aktivitas manusia dalam kegiatan ilmiah (penelitian) maka ilmu dipandang sebagai hasil atau produk dari aktivitas tersebut. Adapun jika ilmu diperbincangkan dalam konteks proses maka ia menunjuk pada “penelitian ilmiah.” Sedang jika dipersoalkan sebagai suatu tata cara untuk mendapatkan kebenaran ilmiah menunjuk pada “metode ilmiah.”[1])
Sedang teknologi merupakan istilah yang lahir kemudian dalam perkembangan pengetahuan manusia. Sebagaimana definisi ilmu, tekonologi memiliki berbagai macam pengertian tergantung pada perspektif dan konteks apa teknologi itu didefinisikan. Terlepas dari itu, pada garis besarnya, teknologi dapat didefinisikan sebagai penggunaan sumber-sumber dan kekuatan-kekuatan alam secara metodik berdasarkan pada ilmu pengetahuan untuk maksud memperhatikan dan memenuhi kebutuhan manusia.[2]) Namun apabila dikaitkan dengan dimensi pengetahuan, teknologi dapat diartikan sebagai penerapan ilmu-ilmu kealaman, pengetahuan, seni industrial, alat kerja dan sebagainya.[3])
Kemudian yang ketiga adalah kebudayaan, sebuah istilah yang sering dimaknai secara kabur dan mengambang. Kekaburan ini bagi kalangan antropologis memiliki banyak acuan paradigmatis. Untuk sementara, kebudayaan dapat diartikan sebagai seluruh nilai material maupun spiritual yang telah dan sedang diciptakan oleh manusia sepanjang sejarah, yang mencakup segala sesuatu yang merupakan akibat dari aktivitas manusia secara sadar dan bebas.[4]) Keterkaitannya dengan pengetahuan istilah teknologi tampaknya memiliki pola-pola makna yang berujud simbul-simbul dan sistem konsep-konsep, sebagai hasil yang diungkapkan dalam proses komunikasi, pelestarian dan perkembangan pengetahuan manusia, sebagai warisan budaya.[5])
Dengan mencermati ketiga definisi di atas dapat dikemukakan bahwa ilmu, teknologi maupun kebudayaan merupakan hasil dari aktivitas dan kreativitas manusia. Sebab, aktivitas manusia berlangsung dalam perjalanan waktu dan berlangsung dalam realitas dan secara faktual mempengaruhi perjalanan hidup manusia. Dalam perspektif inilah, makalah sederhana ini berbicara tentang hubungan antara ketiganya.

HUBUNGAN ANTARA ILMU DAN TEKNOLOGI

Secara historis, dapat disebutkan bahwa pada mulanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berjalan pada jalur yang terpisah. Dalam pertumbuhan peradaban modern terjadi proses pembauran antara jalur ilmu dan teknologi. Salah satu faktor yang membawa interaksi dan interdependensi antara ilmu dan tekonolgi adalah tuntutan peningkatan alat-alat ukur kepastian yang sempurna untuk pengembangan pengetahuan ilmiah, khususnya yang berkenaan dengan ilmu-ilmu eksakta: astronomi, fisika dan biologi. Hal ini merupakan jembatan dari pertumbuhan antara ilmu modern dan teknologi modern.[6])
Namun terlepas dari semua itu, ilmu dan teknologi, sebagimana diungkapkan sebelumnya, keduanya merupakan hasil karya manusia. Sebagai hasil dari kreativitas manusia, ilmu dan teknologi merupakan dua entitas yang selalu berkembang dan mengalami perubahan. Hubungan antara ilmu dan teknologi dapat dipahami sebagai dua dimensi inhernitas antara satu dengan lainnya. Dengan ungkapan lain, bahwa di dalam teknologi terkandung ilmu pengetahuan.[7]) Dengan demikian, perubahan di bidang ilmu akan diikuti oleh perubahan teknologi, dan sebaliknya.
Berinspirasikan pada definisi teknologi di atas, secara ringkas dapat dikatakan bahwa teknologi merupakan pengetahuan obyektif mengenai ketrampilan untuk mengubah, membuat atau membentuk benda materiil yang dilakukan oleh aktivitas manusia untuk dijadikan barang yang berguna. Sedang pengetahuan obyektif itu sendiri menunjukkan keterampilan manusia dalam melukiskan fenomena-fenomena alam dengan metoda yang sistematis dan logis.[8]) Ketrampilan tersebut berkaitan dengan penggunaan sumber-sumber dan kekuatan-kekuatan alam yang didasarkan pengetahuan obyektif. Dalam pemahaman yang demikian, tampak bahwa ilmu merupakan aspek penting dalam teknologi, dimana kemampuan manusia dalam menjelaskan fenomena-feomena alam tersebut menjadi faktor penentu bagi kemampuan manusia dalam mengubah, membuat atau membentuk benda-benda materiil.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya teknologi itu bukanlah ilmu akan tetapi penerapan ilmu. Namun jika dikaitkan dengan aspek eksternal, industri misalnya, dimana aspek eksternal ini disangkutpautkan dengan obyek material ilmu atau aspek-murni terapan, maka teknologi dapat dikatakan sebagai ilmu. Teknologi juga memiliki pengertian sebagai keahlian yang terkait dengan kehidupan manusia.[9])
Untuk mendapatkan pengertian yang lebih jernih, secara sosiologis dapat dijelaskan bahwa teknologi merupakan pola praktek penggunaan semua sumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang berdasar pada ilmu pengetahuan. Pendek kata, teknologi merupakan penerapan ilmu pengetahuan.[10]) Teknologi, sebagai manifestasi dari ilmu pengetahuan, pada hakikatnya adalah ilmu itu sendiri. Tidak bisa dibayangkan adanya teknologi tanpa ilmu pengetahuan. Hubungan antara ilmu pengetahuan dan teknologi pada dasarnya adalah hubungan antara teori dan penerapannya. Teori-teori ilmu pengetahuan, apabila diterapkan dalam penggunaan empiris, akan melahirkan teknologi. Dengan jelas, hubungan keduanya digambarkan A.B. Shah, bahwa hukum-hukum gelombang elektro-magnetik adalah ilmu pengetahuan –aspek teoritisnya. Sedang radio, dimana cara kerjanya menjelaskan hukum-hukum itu, yang merupakan bagian dari teknologi[11]) –aspek terapannya.
Dengan demikian, barangkali dapat dirumuskan, titik singgung antara ilmu dan teknologi lebih bersifat dialektis, dan keduanya memiliki dimensi idealistas-faktual dan teoritis-praktis.[12])
 

HUBUNGAN ANTARA ILMU DAN KEBUDAYAAN

Definisi kebudayaan seperti telah disinggung sebelumnya menunjukkan bahwa kebudayaan dapat diartikan sebagai seluruh nilai dari hasil kreativitas manusia. Mengacu pada pemahaman ini, tampak bahwa ilmu merupakan bagian dari kebudayaan, karena ilmu adalah hasil dan penjelasan yang dilakukan manusia secara sistematis dan logis terhadap fenomena-fenomena baik alam maupun sosial. Ilmu pengetauan, sebagai suatu sistem pengetahuan, merupakan satu di antara unsur-unsur kebudayaan.[13]) Dari ungkapan ini, jelas ilmu pengetahuan merupakan faktor penting dari aspek kebudayaan.
Konsep kebudayaan dapat dipertegas melalui ilustrasi bahwa sebagai produk manusia, kebudayaan sudah menjadi realitas obyektif yang kemudian mengkondisikan manusia, baik secara individu maupun sosial, untuk menyesuaikan diri dengan hasil kreativitasnya, baik teknologi, bahasa maupun lembaga sosialnya.[14]) Pengkondisian yang dimaksud adalah menyangkut ekternalisasi, pencurahan kedirian manusia secara terus-menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisik maupun mentalnya. Disamping itu juga menyangkut obyektifikasi, proses transformasi produk-produk aktivitas fisik maupun mental manusia menjadi suatu realitas yang berhadapan dengan prosedurnya dalam bentuk faktifitas yang eksternal dan berbeda dengan aktornya. Dan menyangkut internalisasi, peresapan kembali realitas tersebut oleh manusia, dan mentransformasikan kembali dari struktur dunia obyektif ke struktur kesadaran subyektif manusia.[15])
Dalam proses perkembangan pengkondisian manusia dalam konteks membentuk kebudayaan ini, tradisi ilmu muncul dalam kehidupan manusia. Dalam alam pikiran yang demikian manusia bersikap mengambil jarak terhadap alam sekitarnya, sehingga alam menjadi sesuatu yang dapat dimanfaatkan dan dipelajari.[16]) Dan karenanya, ilmu menjadi komponen penting dalam kebudayaan.
Melihat keterkaitan antara ilmu dengan kebudayaan yang demikian, posisi ilmu sangat strategis jika dilihat dari segi pengembangan kebudayaan. Oleh karena itu, pandangan yang menyebutkan ilmu untuk ilmu sudah tidak memiliki relevansinya. Jika logika ilmu sebagai strategi kebudayaan ini dibalik maka posisi kebudayaan juga memiliki arti strategis bagi pengembangan ilmu, karena perkembangan ilmu sangat mempertimbangkan unsur-unsur dari sistem kebudayaan, secara integral. Dan dengan demikian, kesalahan pemilihan terhadap proses pembelajaran ilmu akan memiliki dampak yang langsung dapat dirasakan bagi integrasi kebudayaan dalam masyarakat.[17])
 

HUBUNGAN ANTARA TEKNOLOGI DAN KEBUDAYAAN

Sebagaimana ilmu, teknologi adalah komponen penting dari kebudayaan, karena ia memiliki peranan yang tidak ringan dalam proses kebudayaan, terutama dalam kaitannya dengan fenomena globalisasi yang tidak dapat dibendung bahkan oleh institusi manapun. Berbeda dengan peranan ilmu terhadap kebudayaan, teknologi lebih menekankan aspek pembangunan unsur material kebudayaan manusia. Dalam konteks ini teknologi juga merupakan bagian dari realitas obyektif yang pada akhirnya memiliki peranan yang besar terhadap komponen kebudayaan lain, dan terhadap manusia sendiri.[18])
Dalam keterkaitannya dengan hal di atas, stereotif yang muncul dalam pikiran masyarakat dewasa ini lebih memojokkan posisi teknologi, yang dianggap sebagai penyebab utama dari goyahnya dan terkoyak-koyaknya sistem kebudayaan. Pandangan tersebut memang tidak sepenuhnya salah. Hal ini muncul lantaran adanya inkonsistensi komunikasi antar kebudayaan yang selalu mengalami pergeseran-pergeseran. Lagi pula produk suatu teknologi, dengan perangkat lunak dan sistem nilainya, misalnya, sangat mudah melintasi secara akseleratif, dan untuk kemudian memasuki wilayah sistem-sistem kebudayaan. Akselesari perlintasan sistem nilai teknologi kedalam demarkasi kebudayaan ini dirasakan semakin sulit dikendalikan dan sering melahirkan gejala-gejala yang tidak dikehendaki manusia sendiri.[19])
Pergulatan entitas teknologi dan kebudayaan ini kemudian sering menimbulkan masalah bagi kehidupan manusia. Di antaranya adalah yang sering dikenal dengan istilah kesenjangan teknologi. Jelas bahwa masalah ini muncul lantaran munculnya perbedaan yang bersifat mendasar antara teknologi dan kebudayaan itu sendiri. Bahkan, secara sosiologis, sifat teknologi memunculkan ketergantungan budaya dan budaya ketergantungan. Selain itu juga teknologi mempengaruhi budaya masyarakat yang mengarah pada sentralistik kebudayaan, kecenderungan untuk melihat realitas secara dikotomis dan menimbulkan suatu pandangan antroposentris yang marginalis.
Mencermati pemaparan yang demikian, hal pokok yang dapat diungkapkan berkaitan dengan hubungan teknologi dan kebudayaan ini bahwa hubungan itu dapat dilihat melalui perspektif teknologi maupun kebudayaan. Sudut pandang yang pertama lebih menutut kearifan manusia untuk melihat bahwa pilihan-pilihan yang disediakan teknologi mengandung konsekuensi masing-masing. Disamping pula, potensi manusia dalam memenuhi hasrat yang tidak terbatas sesungguhnya memiliki dimensi ganda yang bersifat dialektis: mengembangkan potensi seluas-luasnya serta kemampuan untuk mengendalikannya. Sementara perspektif yang kemudian lebih mengedepankan adanya komunikasi antar sistem budaya. Baik itu melalui proses-proses eksternalisasi bagi pentransfer teknologi, ataupun proses-proses inkulturasi, akulturasi bahkan invasi kebudayaan bagi pihak yang mendapatkan tranfer tekonolgi itu.[20])

PENUTUP

Ilmu pengetahuan, secara fungsional, merupakan sarana untuk membebaskan dan menjinakkan teknologi dengan melalui upaya meningkatkan kebudayaan. Tentu saja hal ini tidak begitu saja dapat dibaca secara mudah. Karena sesungguhnya persoalan hubungan antara ilmu, teknologi dan kebudayaan merupakan realitas yang komplek. Dalam artian bahwa mengabaikan satu saja dari realitas tersebut ketika memperbincangkan salah satu di antaranya, justru akan menghasilkan pandangan yang timpang. Karenanya, upaya memberi pengertian, pemahaman terhadap salah satu realitas tersebut, teknologi misalnya, hanya dapat dilakukan dalam bingkai relasinya terhadap realitas lainnya, ilmu dan kebudayaan, dan begitu seterusnya.


[1])Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 1986), h.128-129.
[2])Lorens Bagus, Kamus Filsafat, edisi I (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), h.1084.
[3])Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Op.Cit., h.131.
[4])Lorens Bagus, Op.Cit., h. 424.
[5])Cliffortz Geertz, Kebudayaan dan Agama, alih bahasaF. Budi Hardiman (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1992), h.3.
[6])Lihat A.M.W. Pranarka, Epistimologi Dasar Suatu Pengantar, cet. I (Jakarta: CSIS, 1987), h.155.
[7])Lihat Sumitro Djojohadikusumo, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan, cet. II (Jakarta: LP3ES, 1994), h.232-233.
[8])Lihat Basit Wahid, “Islam dan IPTEK,” dalam Abdul Basir Solissa (ed.), Alquran dan Pemibinaan Budaya, Dialog dan Transformasi, cet. I (Yogyakarta: Lesfi, 1993), h.80.
[9])Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Op.Cit., h.131.
[10])Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, cet. III (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), h.507.
[11])Ilustrasi lengkapnya, lihat A.B. Shah, Metodologi Ilmu Pengetahuan, alih bahasa Hasan Basari, edisi I (Jakarta: Yayasan Obor, 1986), h.1-5.
[12])Lihat Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Op.Cit., h.135.
[13])Lihat Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet. VII (Jakarta: UI Press, 1981), h.57-58.
[14])Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Op.Cit., h.139.
[15])Ibid., h.138.
[16])Ibid., h.142.
[17])Ibid., h.143.
[18])Ibid., h.145.
[19])Ibid., h.148.
[20])Lihat Ibid., h.150-151.

Selasa, 11 Januari 2011

Ilmu di Abad Pertengahan

Mencermati perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman pertengahan, yang berlangsung pada sekitar abad ke-2 hingga ke-14,[1]  sesungguhnya tidak terlepas dari perkembangan (pemikiran) filsafat pada masa-masa sebelumnya. Pada zaman klasik, atau yang sering dikenal zaman pra-Yunani, pemikiran manusia masih didominasi oleh pandangan-pandangan yang berbau mitos, yang terkait dengan sistem-sistem keprcayaan dan agama. Pada perkembangan selanjutnya, yakni pada zaman Yunani kuno, penggunaan akal mulai diutamakan. Pada zaman yang disebut terakhir ini, perdebatan seputar peranan akal dan hati (iman) mulai seru, yang selanjutnya dimenangkan oleh akal. Dengan ciri utamanya, menjadikan manusia sebagai ukuran kebenaran yang bersifat relatif. Namun sejak Socrates, kondisi berbalik, dominasi akal menghadapi gugatan dan digeser oleh agama.[2]
Dalam pemahaman demikian, dapat dikatakan bahwa zaman pertengahan merupakan zaman posisi agama (baca: hati/iman) dapat menggeser posisi akal. Secara sepintas dapat disebutkan, perkembangan ilmu zaman pertengahan ini, menurut Ahmad Tafsir, ditandai dengan munculnya pandangan tentang teori penciptaan alam semesta, yang dikumukakan Plotinus (204-270 M).[3] Apabila dipandang dari sudut periodesasinya, perkembangan ilmu zaman pertengahan ini terbagi menjadi empat periode, yakni: (1) periode patristik, (2) periode Scolastik, (3) periode Thomas Aquinas dan (4) periode pasca Thomas Aquinas.[4] Disamping itu, dalam konteks sejarah filsafat Islam, pada periode ini, bermuculan pemikir-pemikir dan folosof-filosof Muslim, seperti Al-Kindi, Al-Farabi dan sebagainya.
1. Periode Patristik[5]
            Zaman ini merupakan zaman pergumulan agama Nasrani, dan pergumulan kultural antara Hellenisme [6] dan Semitisme. Pada periode ini terjadi perdebatan dan polemik mengenai alam pikiran hellinisme. Problem-problem utamanya adalah menyangkut persoalan epistimologi, ontologi dan etika. Di dalam proses ini, muncul pengetahuan yang dinamakan theology. Apabila pada perkembangan epistimologi kuno terjadi interaksi antara mitologi, filsafat dan illmu, maka pada zaman pertengahan ini terjadi interaksi antara filsafat, teologi dan ilmu.[7]
Plotinus (204-270 M). Plotinus mendasarkan filsafatnya pada dialektika-menurun (a way down, al-jadal an-nazil), untuk menjelaskan “Wujud Tertinggi” (the Highest Being, the First al-Tabi’at al-Ula, wujud al-Awwal) dan cara keluarnya alam dari-Nya. Dalam penjelasannya tentang “Wujud Tertinggi” ini, dengan teori “Yang Esa”, maka ia sampai pada kesimpulan bahwa semua wujud, termasuk di dalamnya “Wujud-Pertama” (Tuhan) merupakan sebuah mata rantai yang erat dan dikenal dengan istilah “kesatuan wujud” (wahdat al-wujud). Pokok pikiran yang dapat dikemukakan, di antara semua wujud ada wujud tertinggi yang “Yang-Pertama” atau “Yang-Tertinggi” (the Priory Being, the Prior, the One, al-Awwal, al-Wahid) dan ada wujud yang terendah, yaitu alam materi (maddah) sedang di antara kedua wujd tersebut ada wujud-wujud lain. Menurut Plotinus, wujud keseluruhan ada empat: Yang Pertama/Esa, Akal (Nous/Mind), Jiwa Alam (First Soul, the World Soul, al-nafs al-kulliyyah), dan Wujud Alam Materi (al-Maddah).[8]
Yang Pertama/Esa adalah realitas yang tidak mungkin dipahami melalui metode sains dan logika. Ia berada di luas eksistensi, di luar segala nilai. Manusia hanya bisa menghayati ada-Nya. Ia transenden terhadap segala makhluk dan hanya dapat didekati melalui tanda-tanda alam. Sementara Nous atau Mind, yang merupakan realitas kedua, adalah gambaran tentang Yang Esa dan di dalamnya mengandung idea-idea yang merupakan bentuk asli obyek-obyek. Sedang Soul, realitas ketiga dalam filsafat Plotinus, merupakan arsitek semua fenomena yang ada di alam ini. Mengandung satu jiwa dunia dan banyak dunia kecil. Jiwa dunia dapat dilihat dalam dua aspek, yakni (1) sebagai “energi” di belakang dunia dan, dalam waktu yang bersamaan, (2) sebagai “bentuk-bentuk” alam semesta.[9] Ketiga teori ini yang kemudian mengakari teologi Trinitas dalam Agama Kristen. Dalam kaitannya dengan ide-ide ilmu, Plotinus menganggap bahwa sains lebih rendah dari metafisika, dan metafisika lebih rendah dari keimanan.[10] Jika ditinjau dari sudut scientific, barangkali dapat disebutkan bahwa pemikiran Plotinus tidak terlalu memiliki bobot ilmiah, karena ia banyak terpengaruh oleh pemikiran spekulatif dari dogma-dogma Kristiani.
2. Periode Skolastik[11]
Augustinus (354-430). Periode skolastik ini diawali dengan munculnya tokoh Augustinus.[12] Tokoh ini berusaha menjelaskan posisi gereja dan kebudayaan Yunani-Romawi. Dalam hal ini, ia menolak anggapan bahwa kejatuhan Kerajaan Romawi disebabkan adanya ajaran Nasrani. Menyangkut persoalan epistimologi, ia berupaya mencari pola epistimologis yang dapat digunakan untuk menjelaskan posisi gereja dan ajarannya. Karenanya ia memandang persoalan kebenaran sebagai hal sangat pokok, untuk mengungkap sebuah kepastian dasar.[13]
Augustinus merupakan filosof yang menolak teori kemungkinan dari pandangan kaum skeptisisme.[14] Penolaknnya ini didasarkan pada kesadaran tentang gejala kenyataan, bukan atas landasan rasio dan logika. Melalui proses ini manusia dapat mencapai pengetahuan tertinggi yang berupa pencerahan ilahiah. Dalam konteks ini dapat disebutkan, teori pengetahuan dalam pendangan Augustinus adalah teori pengetahuan yang memerlukan pencerahan ilahiah. Tuhan mencurahkan cahaya-Nya pada jiwa manusia sehingga dapat menangkap kebenaran terakhir. Jadi, menurutnya, dalam mencari kebenaran Tuhan adalah guru.[15]
Pada periode ini, dalam dunia pemikiran filsafat Islam, muncul pula filosof-filosof Muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Tufail, Ibnu Rusyd dan al-Ghazali.[16]
3. Periode Thomas Aquinas[17]
Thomas Aquinas,[18] yang banyak dipenaruhi oleh Aristoteles, adalah seorang yang berusaha membangun perpaduan yang bernafaskan realisme antara nalar dan iman, kodrat dan adikodrati, filsfat dan teologi. Epistimologi Aquinas ini merupakan penjelasan dari epistimologi Aristoteles, yang titik tolaknya adalah menerima pengetahuan intelektual (dan dengan demikian juga kebenaran dan kepastian) sebagai kenyataan rasional antara subyek dan obyek. Juga menerima adanya keterbatasan pengetahuan manusia, meskipun pengetahuan adalah potensi yang sifatnya tidak terbatas. Naskahnya yang terkenal dalam hal ini adalah De Veritate (On Truth). Pemikiran Aquinas bercorak intelektulistik. Lantaran begitu percayanya kalangan gereja dengan Aquinas, sehingga ia dikenal sebagai Philosophia Perennis, dimana orang mengira segala sesuatunya sudah terjawab di dalamnya.[19]
Dalam mejelaskan tentang teori pengetahuannya, Aquinas mendasarkan pada pemikiran bahwa pikiran dan iman tidak bertentangan. Untuk mencapai pengetahuan dalam kerangka filsafat Kristen hanya dapat dicapai dalam keseimbangan akal dan iman. Pengetahuan merupakan gabungan dari pemahaman falsafati dan keimanan. Berkaitan dengan pengetahuan manusia tentang proses terjadinya alam semesta, Aquinas mencoba menjembatani dua pandangan ekstrim: (1) nominalism, sebuah ajaran yang menyatakan bahwa tidak ada eksistensi abstrak yang sungguh obyektif; yang ada hanya nama-nama, yang benar-benar real adalah fisik yang partikular saja; dan (2) realism, pandangan yang menyatakan bahwa realistas universal abstrak sama dengan atau lebih tinggi dari realitas fisik.[20] Dalam konteks ini, sepintas dapat disebutkan bahwa Aquinas tergolong seorang realis moderat.
4. Periode Pasca Thomas Aquinas
Karena terjadi perubahan mendasar dalam aspek kehidupan manusia pada umumnya, ketegaran sistematis Aquinas menjadi pudar. Perubahan mendasar itu, dalam perspektif sejarah pengetahuan, berkaitan dengan bangkitnya kembali tradisi hellenistik dan adanya penemuan-penemuan baru pengetahuan ilmiah dan teknologi. Salah satu tokoh pada periode ini adalah Suarez. Kendati dalam banyak hal Suarez kerap berbicara mengenai politik dan hukum, namun dapat diungkap, gagasannya epistimologisnya adalah ia mempermasalahkan kembali problema sekitar konsep uiversal. Menurutnya, pengetahuan itu langsung mengenai obyek secara singular. Konsep universalnya merupakan konstruksi setelahnya. Kemudian ia menolak bahwa universalnya konsep itu terjadi karena adanya iluminasi dari Tuhan, tetapi ia tidak pula menerima pembedaan antara “materia” dan “forma”.[21]
Mencermati pemaparan di atas, dapat diuraikan beberapa pokok pemikiran berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang berlangsung pada jaman pertengahan, yakni:
-  Diawali dengan semakin merosotnya pemikiran hellenisme;
-  Mulai berkembangnya gereja Kristen di Eropa;
-  Pergeseran peranan akal oleh keimanan/agama;
-  Tumbuhnya filsafat Islam;
-  Kebangkitan kembali filsafat skolastik;
-  Muncul penemuan-penemuan ilmiah dan teknologi;
-  Diakhiri dengan kembalinya filsafat hellenisme yang membawa lairnya Filsafat modern.

Catatan
[1]Pembagian periode ini dalam beberapa pandangan menunjukkan adanya perbedaan. Ada yang memandang bahwa zaman pertengahan dimulai sejak abad ke-3 hingga abad ke-15. Secara politis, zaman ini dimulai sejak jatuhnya imperium Romanum pada abad ke-4. Kendati begitu, penulis berpandangan: perbedaan ini tidak terlalu mengganggu pembahasan sejarah ilmu pada periode ini.
[2]Lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James, cet. I (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1990), h.40-56.
[3]Ibid., h.57. Menurut Endang Danuri Asdi dan Husnan Aksa, tokoh ini termasuk seorang filosof terakhir dalam zaman Yunani kuno. Dan segaligus sebagai pembuka dari jaman pertengahan. Lahir di Mesir Pada usia 27 tahun ia pindah ke Alexandria untuk mempelajari filsafat Plato. Disamping filsafat, juga mempelajari ilmu ukur, mekanika, optik dan seni. Ia seorang pendiri sekolah Roma. Selain Plato, ia juga mendapat pengaruh dari Aristoteles, Epikorus dan Zeno. Karyanya berjudul Enneades diterbitkan oleh Porphyrios terdiri dari 6 jilid yang setiap jilidnya terdiri dari 9 bab. Meninggal di Minturnae, Campania, Italia pada 270. Lihat Endang Danuri Asdi dan Husnan Aksa, Filsuf-filsuf Dunia dalam Gambar (Yogyakarta: Surya Kencana, 1982), h.191-2.
[4]A.M.W. Pranarka, Epistimologi Dasar Suatu Pengantar (Jakarta: CSIS, 1987), h.121.
[5]Sebuah istilah yang dibuat gereja. Patres berarti “para Bapa” yang diartikan sebagai para perintis gereja di Eropa.
[6]Berasal dari kata hellas, nama Yunani kuno dimana Alexander Agung (356-323 SM) memerintah menggantikan ayahnya Philip dari Macedonia pada 336 SM. Karenanya, menurut sebagian pendapat, hellenisme merupakan peradaban dan kebudayaan hellas (Yunani kuno) yang diajarkan ke seluruh dunia. Sebagai murid Aristoteles, Alexander Agung mampu memadukan dua kebudayaan yang berbeda, barat dan timur, menjadi kebudayaan Hellenisme.
[7]A.M.W. Pranarka, Epistimologi…, h.122
[8]Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h.33-4.
[9]Ahmad Tafsir, Filsafat…, h.59.
[10]Ibid., h.62.
[11]Scholasticism (Inggris), scholasticus (Latin: asalnya schola), scholastikos (Yunani), yang berarti guru. Pemikiran yang menerangkan ajaran-ajaran filsafat, terutama filsafat Aristoteles, pada doktrin Kristen, yang mengatakan bahwa sekalipun akal selalu tunduk pada iman namun berguna sekali untuk meningkatkan pemahaman manusia mengenai apa yang diimaninya. Gerakan pemikiran inilah yang kemudian mendorong berdirinya sekolah dan universitas.
[12]Lahir di Tagasta, Numidia (sekarang Algeria), pada 13 Nopember 354. Ayahnya, Potricus, adalah pejabat pada kekaisaran Romawi Sebagian umurnya dihabiskan di lingkungan orang kafir. Disamping mengajar di Tagasta ia juga pernah menjadi pembantu uskup di Hippo. Meninggal pada 28 Agustus 430, di tengah penyerbuan Vandal ke Hippo.
[13]A.M.W. Pranarka, Epistimologi…, h.122-3.
[14]Suatu pandangan yang tidak mempercayai kebenaran suatu pernyataan. Manusia tidak mungkin mencapai kebenaran dan pengetahuan mutlak. Disamping itu, menggambarkan sikap keraguan atas nilai-nilai kehidupan Istilah ini muncul sejak Thales (624-565 SM). Pada ia mengajarkan bahwa manusia sebenarnya tidak sanggup mengetahui hakikat dan bagaimana adanya alam semesta yang sebenarnya.
[15]Lihat Ahmad Tafsir, Filsafat…, h.75-7.
[16]Uraian lengkapnya lihat M.M. Syarif (ed.), Para Filosof Muslim, cet. VII (Bandung: Penerbit Mizan, 1994); Ahmad Hanafi, Pengantar…, bab VIII-XIV.
[17]Periode ini sesungguhnya bagian dari periode skolastik. Karena tokoh ini dianggap tokoh terbesar dari jaman perengahan maka pembagiannya dijadikan periode tersendiri.
[18]Lahir sekitar tahun 1225 di Roccasecca, Italia. Setelah mendapat pendidikan di biara Monte Cassino, ia masuk golongan keagamaan Dominican di Napoli. Sejak usia 24 tahun ia mengajar filsafat di sekolah tinggi di Paris. Tokoh yang banyak melairkan buku ini pernah tinggal di istana Paus Urbanus IV di Italia sekembalinya dari Paris. Kembali ke Italia dan menghabiskan masa tuanya di Napoli hingga wafatnya pada 1274.
[19]A.M.W. Pranarka, Epistimologi…, h.123-4.
[20]Lihat Ahmad Tafsir, Filsafat…, h.91-2.
[21]A.M.W. Pranarka, Epistimologi…, h.124.