Mencermati perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman pertengahan, yang berlangsung pada sekitar abad ke-2 hingga ke-14,[1] sesungguhnya tidak terlepas dari perkembangan (pemikiran) filsafat pada masa-masa sebelumnya. Pada zaman klasik, atau yang sering dikenal zaman pra-Yunani, pemikiran manusia masih didominasi oleh pandangan-pandangan yang berbau mitos, yang terkait dengan sistem-sistem keprcayaan dan agama. Pada perkembangan selanjutnya, yakni pada zaman Yunani kuno, penggunaan akal mulai diutamakan. Pada zaman yang disebut terakhir ini, perdebatan seputar peranan akal dan hati (iman) mulai seru, yang selanjutnya dimenangkan oleh akal. Dengan ciri utamanya, menjadikan manusia sebagai ukuran kebenaran yang bersifat relatif. Namun sejak Socrates, kondisi berbalik, dominasi akal menghadapi gugatan dan digeser oleh agama.[2]
Dalam pemahaman demikian, dapat dikatakan bahwa zaman pertengahan merupakan zaman posisi agama (baca: hati/iman) dapat menggeser posisi akal. Secara sepintas dapat disebutkan, perkembangan ilmu zaman pertengahan ini, menurut Ahmad Tafsir, ditandai dengan munculnya pandangan tentang teori penciptaan alam semesta, yang dikumukakan Plotinus (204-270 M).[3] Apabila dipandang dari sudut periodesasinya, perkembangan ilmu zaman pertengahan ini terbagi menjadi empat periode, yakni: (1) periode patristik, (2) periode Scolastik, (3) periode Thomas Aquinas dan (4) periode pasca Thomas Aquinas.[4] Disamping itu, dalam konteks sejarah filsafat Islam, pada periode ini, bermuculan pemikir-pemikir dan folosof-filosof Muslim, seperti Al-Kindi, Al-Farabi dan sebagainya.
1. Periode Patristik[5]
Zaman ini merupakan zaman pergumulan agama Nasrani, dan pergumulan kultural antara Hellenisme [6] dan Semitisme. Pada periode ini terjadi perdebatan dan polemik mengenai alam pikiran hellinisme. Problem-problem utamanya adalah menyangkut persoalan epistimologi, ontologi dan etika. Di dalam proses ini, muncul pengetahuan yang dinamakan theology. Apabila pada perkembangan epistimologi kuno terjadi interaksi antara mitologi, filsafat dan illmu, maka pada zaman pertengahan ini terjadi interaksi antara filsafat, teologi dan ilmu.[7]
Plotinus (204-270 M). Plotinus mendasarkan filsafatnya pada dialektika-menurun (a way down, al-jadal an-nazil), untuk menjelaskan “Wujud Tertinggi” (the Highest Being, the First al-Tabi’at al-Ula, wujud al-Awwal) dan cara keluarnya alam dari-Nya. Dalam penjelasannya tentang “Wujud Tertinggi” ini, dengan teori “Yang Esa”, maka ia sampai pada kesimpulan bahwa semua wujud, termasuk di dalamnya “Wujud-Pertama” (Tuhan) merupakan sebuah mata rantai yang erat dan dikenal dengan istilah “kesatuan wujud” (wahdat al-wujud). Pokok pikiran yang dapat dikemukakan, di antara semua wujud ada wujud tertinggi yang “Yang-Pertama” atau “Yang-Tertinggi” (the Priory Being, the Prior, the One, al-Awwal, al-Wahid) dan ada wujud yang terendah, yaitu alam materi (maddah) sedang di antara kedua wujd tersebut ada wujud-wujud lain. Menurut Plotinus, wujud keseluruhan ada empat: Yang Pertama/Esa, Akal (Nous/Mind), Jiwa Alam (First Soul, the World Soul, al-nafs al-kulliyyah), dan Wujud Alam Materi (al-Maddah).[8]
Yang Pertama/Esa adalah realitas yang tidak mungkin dipahami melalui metode sains dan logika. Ia berada di luas eksistensi, di luar segala nilai. Manusia hanya bisa menghayati ada-Nya. Ia transenden terhadap segala makhluk dan hanya dapat didekati melalui tanda-tanda alam. Sementara Nous atau Mind, yang merupakan realitas kedua, adalah gambaran tentang Yang Esa dan di dalamnya mengandung idea-idea yang merupakan bentuk asli obyek-obyek. Sedang Soul, realitas ketiga dalam filsafat Plotinus, merupakan arsitek semua fenomena yang ada di alam ini. Mengandung satu jiwa dunia dan banyak dunia kecil. Jiwa dunia dapat dilihat dalam dua aspek, yakni (1) sebagai “energi” di belakang dunia dan, dalam waktu yang bersamaan, (2) sebagai “bentuk-bentuk” alam semesta.[9] Ketiga teori ini yang kemudian mengakari teologi Trinitas dalam Agama Kristen. Dalam kaitannya dengan ide-ide ilmu, Plotinus menganggap bahwa sains lebih rendah dari metafisika, dan metafisika lebih rendah dari keimanan.[10] Jika ditinjau dari sudut scientific, barangkali dapat disebutkan bahwa pemikiran Plotinus tidak terlalu memiliki bobot ilmiah, karena ia banyak terpengaruh oleh pemikiran spekulatif dari dogma-dogma Kristiani.
2. Periode Skolastik[11]
Augustinus (354-430). Periode skolastik ini diawali dengan munculnya tokoh Augustinus.[12] Tokoh ini berusaha menjelaskan posisi gereja dan kebudayaan Yunani-Romawi. Dalam hal ini, ia menolak anggapan bahwa kejatuhan Kerajaan Romawi disebabkan adanya ajaran Nasrani. Menyangkut persoalan epistimologi, ia berupaya mencari pola epistimologis yang dapat digunakan untuk menjelaskan posisi gereja dan ajarannya. Karenanya ia memandang persoalan kebenaran sebagai hal sangat pokok, untuk mengungkap sebuah kepastian dasar.[13]
Augustinus merupakan filosof yang menolak teori kemungkinan dari pandangan kaum skeptisisme.[14] Penolaknnya ini didasarkan pada kesadaran tentang gejala kenyataan, bukan atas landasan rasio dan logika. Melalui proses ini manusia dapat mencapai pengetahuan tertinggi yang berupa pencerahan ilahiah. Dalam konteks ini dapat disebutkan, teori pengetahuan dalam pendangan Augustinus adalah teori pengetahuan yang memerlukan pencerahan ilahiah. Tuhan mencurahkan cahaya-Nya pada jiwa manusia sehingga dapat menangkap kebenaran terakhir. Jadi, menurutnya, dalam mencari kebenaran Tuhan adalah guru.[15]
Pada periode ini, dalam dunia pemikiran filsafat Islam, muncul pula filosof-filosof Muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Tufail, Ibnu Rusyd dan al-Ghazali.[16]
3. Periode Thomas Aquinas[17]
Thomas Aquinas,[18] yang banyak dipenaruhi oleh Aristoteles, adalah seorang yang berusaha membangun perpaduan yang bernafaskan realisme antara nalar dan iman, kodrat dan adikodrati, filsfat dan teologi. Epistimologi Aquinas ini merupakan penjelasan dari epistimologi Aristoteles, yang titik tolaknya adalah menerima pengetahuan intelektual (dan dengan demikian juga kebenaran dan kepastian) sebagai kenyataan rasional antara subyek dan obyek. Juga menerima adanya keterbatasan pengetahuan manusia, meskipun pengetahuan adalah potensi yang sifatnya tidak terbatas. Naskahnya yang terkenal dalam hal ini adalah De Veritate (On Truth). Pemikiran Aquinas bercorak intelektulistik. Lantaran begitu percayanya kalangan gereja dengan Aquinas, sehingga ia dikenal sebagai Philosophia Perennis, dimana orang mengira segala sesuatunya sudah terjawab di dalamnya.[19]
Dalam mejelaskan tentang teori pengetahuannya, Aquinas mendasarkan pada pemikiran bahwa pikiran dan iman tidak bertentangan. Untuk mencapai pengetahuan dalam kerangka filsafat Kristen hanya dapat dicapai dalam keseimbangan akal dan iman. Pengetahuan merupakan gabungan dari pemahaman falsafati dan keimanan. Berkaitan dengan pengetahuan manusia tentang proses terjadinya alam semesta, Aquinas mencoba menjembatani dua pandangan ekstrim: (1) nominalism, sebuah ajaran yang menyatakan bahwa tidak ada eksistensi abstrak yang sungguh obyektif; yang ada hanya nama-nama, yang benar-benar real adalah fisik yang partikular saja; dan (2) realism, pandangan yang menyatakan bahwa realistas universal abstrak sama dengan atau lebih tinggi dari realitas fisik.[20] Dalam konteks ini, sepintas dapat disebutkan bahwa Aquinas tergolong seorang realis moderat.
4. Periode Pasca Thomas Aquinas
Karena terjadi perubahan mendasar dalam aspek kehidupan manusia pada umumnya, ketegaran sistematis Aquinas menjadi pudar. Perubahan mendasar itu, dalam perspektif sejarah pengetahuan, berkaitan dengan bangkitnya kembali tradisi hellenistik dan adanya penemuan-penemuan baru pengetahuan ilmiah dan teknologi. Salah satu tokoh pada periode ini adalah Suarez. Kendati dalam banyak hal Suarez kerap berbicara mengenai politik dan hukum, namun dapat diungkap, gagasannya epistimologisnya adalah ia mempermasalahkan kembali problema sekitar konsep uiversal. Menurutnya, pengetahuan itu langsung mengenai obyek secara singular. Konsep universalnya merupakan konstruksi setelahnya. Kemudian ia menolak bahwa universalnya konsep itu terjadi karena adanya iluminasi dari Tuhan, tetapi ia tidak pula menerima pembedaan antara “materia” dan “forma”.[21]
Mencermati pemaparan di atas, dapat diuraikan beberapa pokok pemikiran berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang berlangsung pada jaman pertengahan, yakni:
- Diawali dengan semakin merosotnya pemikiran hellenisme;
- Mulai berkembangnya gereja Kristen di Eropa;
- Pergeseran peranan akal oleh keimanan/agama;
- Tumbuhnya filsafat Islam;
- Kebangkitan kembali filsafat skolastik;
- Muncul penemuan-penemuan ilmiah dan teknologi;
- Diakhiri dengan kembalinya filsafat hellenisme yang membawa lairnya Filsafat modern.
Catatan
[1]Pembagian periode ini dalam beberapa pandangan menunjukkan adanya perbedaan. Ada yang memandang bahwa zaman pertengahan dimulai sejak abad ke-3 hingga abad ke-15. Secara politis, zaman ini dimulai sejak jatuhnya imperium Romanum pada abad ke-4. Kendati begitu, penulis berpandangan: perbedaan ini tidak terlalu mengganggu pembahasan sejarah ilmu pada periode ini.
[2]Lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James, cet. I (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1990), h.40-56.
[3]Ibid., h.57. Menurut Endang Danuri Asdi dan Husnan Aksa, tokoh ini termasuk seorang filosof terakhir dalam zaman Yunani kuno. Dan segaligus sebagai pembuka dari jaman pertengahan. Lahir di Mesir Pada usia 27 tahun ia pindah ke Alexandria untuk mempelajari filsafat Plato. Disamping filsafat, juga mempelajari ilmu ukur, mekanika, optik dan seni. Ia seorang pendiri sekolah Roma. Selain Plato, ia juga mendapat pengaruh dari Aristoteles, Epikorus dan Zeno. Karyanya berjudul Enneades diterbitkan oleh Porphyrios terdiri dari 6 jilid yang setiap jilidnya terdiri dari 9 bab. Meninggal di Minturnae, Campania, Italia pada 270. Lihat Endang Danuri Asdi dan Husnan Aksa, Filsuf-filsuf Dunia dalam Gambar (Yogyakarta: Surya Kencana, 1982), h.191-2.
[4]A.M.W. Pranarka, Epistimologi Dasar Suatu Pengantar (Jakarta: CSIS, 1987), h.121.
[5]Sebuah istilah yang dibuat gereja. Patres berarti “para Bapa” yang diartikan sebagai para perintis gereja di Eropa.
[6]Berasal dari kata hellas, nama Yunani kuno dimana Alexander Agung (356-323 SM) memerintah menggantikan ayahnya Philip dari Macedonia pada 336 SM. Karenanya, menurut sebagian pendapat, hellenisme merupakan peradaban dan kebudayaan hellas (Yunani kuno) yang diajarkan ke seluruh dunia. Sebagai murid Aristoteles, Alexander Agung mampu memadukan dua kebudayaan yang berbeda, barat dan timur, menjadi kebudayaan Hellenisme.
[7]A.M.W. Pranarka, Epistimologi…, h.122
[8]Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h.33-4.
[9]Ahmad Tafsir, Filsafat…, h.59.
[10]Ibid., h.62.
[11]Scholasticism (Inggris), scholasticus (Latin: asalnya schola), scholastikos (Yunani), yang berarti guru. Pemikiran yang menerangkan ajaran-ajaran filsafat, terutama filsafat Aristoteles, pada doktrin Kristen, yang mengatakan bahwa sekalipun akal selalu tunduk pada iman namun berguna sekali untuk meningkatkan pemahaman manusia mengenai apa yang diimaninya. Gerakan pemikiran inilah yang kemudian mendorong berdirinya sekolah dan universitas.
[12]Lahir di Tagasta, Numidia (sekarang Algeria), pada 13 Nopember 354. Ayahnya, Potricus, adalah pejabat pada kekaisaran Romawi Sebagian umurnya dihabiskan di lingkungan orang kafir. Disamping mengajar di Tagasta ia juga pernah menjadi pembantu uskup di Hippo. Meninggal pada 28 Agustus 430, di tengah penyerbuan Vandal ke Hippo.
[13]A.M.W. Pranarka, Epistimologi…, h.122-3.
[14]Suatu pandangan yang tidak mempercayai kebenaran suatu pernyataan. Manusia tidak mungkin mencapai kebenaran dan pengetahuan mutlak. Disamping itu, menggambarkan sikap keraguan atas nilai-nilai kehidupan Istilah ini muncul sejak Thales (624-565 SM). Pada ia mengajarkan bahwa manusia sebenarnya tidak sanggup mengetahui hakikat dan bagaimana adanya alam semesta yang sebenarnya.
[15]Lihat Ahmad Tafsir, Filsafat…, h.75-7.
[16]Uraian lengkapnya lihat M.M. Syarif (ed.), Para Filosof Muslim, cet. VII (Bandung: Penerbit Mizan, 1994); Ahmad Hanafi, Pengantar…, bab VIII-XIV.
[17]Periode ini sesungguhnya bagian dari periode skolastik. Karena tokoh ini dianggap tokoh terbesar dari jaman perengahan maka pembagiannya dijadikan periode tersendiri.
[18]Lahir sekitar tahun 1225 di Roccasecca, Italia. Setelah mendapat pendidikan di biara Monte Cassino, ia masuk golongan keagamaan Dominican di Napoli. Sejak usia 24 tahun ia mengajar filsafat di sekolah tinggi di Paris. Tokoh yang banyak melairkan buku ini pernah tinggal di istana Paus Urbanus IV di Italia sekembalinya dari Paris. Kembali ke Italia dan menghabiskan masa tuanya di Napoli hingga wafatnya pada 1274.
[19]A.M.W. Pranarka, Epistimologi…, h.123-4.
[20]Lihat Ahmad Tafsir, Filsafat…, h.91-2.
[21]A.M.W. Pranarka, Epistimologi…, h.124.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar