Rabu, 29 Desember 2010

Kesadaran Perenis

Sepanjang sejarah kehidupan manusia, persoalan mendasar yang kerapkali muncul dan selalu hadir dalam setiap sudut sanubari ialah ketika manusia dihadapkan pada persoalan-persoalan tentang siapakah dirinya, dari mana ia berasal, apakah ada kekuatan-kekuatan lain di luar dirinya, mengapa ia harus eksis di dunia ini dan berkolaborasi dengan alam, dan sebagainya. Selama berabad-abad pula, sejak manusia hadir ke alam dunia ini, sesungguhnya persoalan-persoalan tersebut merupakan sebuah upaya hati (spiritual) sekaligus intelektual (kefilsafatan) dalam mencari hakikat eksistensi dirinya.

Dalam sudut pandang realis-empiris, barangkali upaya tersebut dilakukan dengan dan melalui pengalaman spiritual yang pernah dialami manusia pada tataran individual dalam melakukan refleksi terhadap realitas kehidupan. Lebih tampak tatkala manusia melakukan kontemplasi atau perenungan tentang hakikat keberadaannya dengan mencoba menggali dan memahami makna kehadirannya di dunia ini dan proses dialektikanya dengan sejarah. Kegiatan ini dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang makna intrinsik-esoteris sesuatu di balik yang nyata, seakan tengah melakukan “persetubuhan” dengan sesuatu yang dianggapnya ada namun tak terdefinisi.

Pengalaman-pengalaman itu memperlihatkan bahwa manusia memiliki sifat ketergantungan teologis kepada sesuatu atau kekuatan di luar dirinya, dimana sesuatu atau kekuatan itu dirasakan senantiasa memonitor dan mengendalikan setiap perilakunya. Adalah dapat dimengerti apabila manusia selalu dilingkupi kecemasan teologis yang mengusik, dalam pengertian mempertanyakan apa atau siapa yang berada di balik semua itu, dan bagaimana semuanya dapat berproses.

Setidaknya, dapat diungkapkan bahwa pengalaman-pengalaman yang diperoleh melalui kegiatan atau ibadah ritual keagamaan, seperti shalat, puasa, haji (hubungan fertikal dengan sesuatu yang dianggap memiliki kekuatan itu, Tuhan) atau dalam bentuk aktifitas sosial, pergaulannya dengan sesamanya dan alam dalam berbagai macam bentuk (hubungan horisontal antar sesama makhluk), memunculkan obsesi manusia untuk mencari, dan terus mencari, Tuhannya.

Shalat, misalnya, adalah bentuk ibadah ritual yang diwajibkan kepada seluruh Muslim untuk pendekatan dan perwujudan rasa penghambaan kepada Tuhan Allah, di mana setiap gerak-geriknya diyakini sebagai mempunyai implikasi spiritual dalam menuju kepada-Nya dan terhadap pembentukan watak sosial manusia. Shalat merupakan jenis pengalaman yang sangat unik ketika manusia dengan penuh kepatuhan menjalankannya se-kusyu’ mungkin. Manusia mencoba untuk melakukan penggambaran akan bentuk zat yang sedang diajaknya “berbicara” itu. Pengilustrasian itu meliputi ragam-macam bentuk dan sering kali berganti-ganti. Sebagai contoh, dengan mengilustrasikan sebagai sosok yang sedang duduk di atas singgasana dengan gagahnya; sebagai seberkas cahaya yang menyejukkan bahkan menyilaukan tapi menimbulkan kenikmatan; pun kadang-kadang dilihat seperti sesuatu yang mendekam dalam hati, menyelimuti dan mengalir di segenap darah dan nadi; atau ujud yang sukar disebutkan namun dapat dibayangkan, yang melingkupi seluruh isi alam.

Maka sesungguhnya, sebagaimana yang dipahamkan dan dihayatkan kepada manusia beriman bahwa kegiatan pemfisualisasian manusia tentang zat Yang Wajib Ada dalam bentuk apapun merupakan proses perenungan yang dilampaui manusia dan, sebagian teolog menganggap, bersifat alamiah sepanjang ia dipahami sebagai kerangka proses disertai keyakinan bahwa bentuk-bentuk itu bukanlah hakikat sebenarnya, tetapi hanya produk intelektual belaka.

Mengatasi pemahaman di atas, sesungguhnya persoalan yang lebih substantif adalah bagaimana manusia berupaya mencapai satu titik kesadaran teologis yang bercorak perenis-esoteris, dimana Tuhan dimaknai sebagai realitas yang benar-benar ada, namun intelektualitas manusia tidak dapat menjangkau kebenaran mutlak itu. Sesungguhnya kebenaran hakiki hanya dalam genggaman-Nya.

Tidak ada komentar: