Banyak kalangan Muslim meyakini bahwa Islam telah memberikan aturan-aturan khusus bagaimana mereka seharusnya bersikap terhadap pemeluk agama lain, dan tidak sedikit yang memandang bahwa Islam tidak memberikan patokan tertentu yang mengatur hubungan Muslim dan non-Muslim, akan tetapi hanya menawarkan norma-norma yang dilihat secara lebih substantif dan masih memerlukan penggalian –ijtihad. Namun keduanya memiliki asumsi yang sama tentang sejarah kaum Muslim yang dinilai lebih toleran dibanding sistem-sistem kepercayaan lain.
Tanpa mengurangi apresiasi terhadap romantisme Muslim tersebut, sesungguhnya antara “Islam Teoritis” dan “Islam Praksis” terdapat distingsi (kesenjangan) sangat tajam. Kalau tidak, bagaimana sejarah mencatat konflik-konflik yang dipenuhi ketegangan politis, ideologis, bahkan teologis keduanya tetap memenuhi wacana keagamaan hingga kini, yang merupakan indikasi belum adanya kesepakatan, dan kesatuan arah dan persepsi antar umat beragama untuk menciptakan sebuah harmonisitas kehidupan beragama, sehingga agama-agama tersebut dapat hidup berdampingan secara damai? Kalau bukan umat Islam sendiri yang harus bertanggung jawab atas persoalan ini, dalam pengertian mengajak umat agama-agama lain untuk berdialog dan mencari kesatuan persepsi tentang pluralitas dan realitas agama-agama, lantas siapa?
Persoalan-persoalan di atas kendati bukanlah sesuatu yang baru tetapi karena begitu mendasarnya, setidaknya kaum Muslim harus tanggap terhadap permasalahan tersebut. Kaum muslim harus secara jujur memberikan pemahaman mengenai agamanya sendiri karena tidak semua orang dapat dengan mudah memahami makna intrinsik-esoterik dari agama yang bukan menjadi kepercayaannya. Demikian pula kaum Muslim laiknya lebih berbesar hati dan berani bersikap lebih terbuka menerima kehadiran agama lain di sisi mereka, karena telah menjadi kenyataan obyektif yang tidak bisa tawar-tawar lagi.
Agama Islam memperkenalkan beberapa konsep dasar yang dapat mendukung upaya mendirikan bangunan teologi toleransi secara kokoh. Prinsip yang paling kuat mengakar di dalam pemikiran Islam adalah keyakinan manusia terhadap agama fitrah dan kebaikan manusia merupakan satu hal yang alamiah dari prinsip ini. Derifasi prinsip ini mencuatkan nilai-nilai humanitas bercorak implikatif di mana manusia sadar bahwa ia merupakan produk penciptaan yang memiliki sifat terikat total secara teologis (tauhid) pada Sang Khaliq. Nilai-nilai –seperti: kebebasan dan tidak ada paksaan dalam beragama, persamaan dan penghormatan yang bersifat alamiah bagi semua umat beragama, dan sejenisnya– yang lahir dari dan melalui prinsip tersebut, akan menjadi landasan teologis bagi toleransi ke arah kosmopolisme ajaran yang sesuai watak ilahiahnya.
Agama menjadi fitrah manusia terhadap hakikat Yang Wujud yang benar-benar diakui eksistensinya oleh seorang yang beriman. Pengakuan manusia terhadap Tuhan ini dilakukan melalui pendasaran, menurut mufasir Baidawi, perjanjian moral yang disepakati manusia pertama (Adam) dan keturunannya dengan Tuhannya. Ikatan batin yang tercetus dari perjanjian itu menampakkan, ke dan dari dirinya sendiri, suatu identitas kemanusiaan pada dua entitas yang bercorak material dan spiritual. Pemenuhan terhadap keduanya menjelma ke dalam realitas obyektif perilaku. Di atas semua itu kesadaran teologis-perenis merupakan parameter tersendiri untuk melihat bagaimana manusia melakukan hubungan dengan alam dan sesamanya.
Kesadaran beragama dalam konteks Islam jauh melampaui perilaku itu sendiri dan bersifat iluminatif bukan sekedar melalui penalaran terbatas belaka. Dan kesadaran bahwa ada entitas-entitas agama lain di luar Islam tidaklah berpola dikotomis. Hubungan logis antara dua kesadaran itu membentuk kerangka kesadaran baru yang erat kaitannya dengan watak penciptaan manusia. Tuhan, umat agama yang satu, dan umat agama yang lainnya adalah kenyataan obyektif yang melukiskan hubungan transenden. Mendahului semua itu sesung-guhnya kesadaran tersebutlah yang kini telah hilang entah ke mana.
Banyak orang yang menganut pandangan bahwa Kebenaran Mutlak (The Truth) hanya satu dan dari yang satu ini memancar berbagai cahaya kebenaran sebagaimana matahari yang secara niscaya memancarkan cahayanya. Hakikat cahaya adalah satu dan tanpa warna tetapi spektrum kilatannya ditangkap oleh manusia dalam kesan yang beraneka warna. Maksudnya, kendati hanya ada satu hakikat agama yang benar maka terukir melalui sejarah pluralisme dan partikularisme bentuk dan bahasa agama, karena agama muncul dalam ruang dan waktu secara simultan. Pesan kebenaran yang absolut itu berpartisipasi dan bersimbiose dalam dialektika sejarah. Maka tidak dapat dielakkan bentuk dan bahasa keagamaan bergumul dengan nilai-nilai budaya tertentu, yang pada gilirannya melahirkan komunitas-komunitas keagamaaan dengan segala implikasinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar