Kamis, 23 Desember 2010

Manusia Soliter

Orang-orang bijak bilang, manusia tidak akan puas dengan segala sesuatu yang pernah diketahuinya. Pendapat ini agaknya mudah diterima. Karena memang tidak ada standar yang pasti tentang batasan kepuasan itu. Manusia boleh merasa puas terhadap pengetahuan yang dimiliki, namun kepuasan itu tidak akan bertahan lama. Masih tersimpan dalam memori kita betapa seorang anak kecil tidak henti-hentinya melontarkan bermacam pertanyaan, yang kadang kala tidak rasional, mengenai lingkungan sekitar. Seorang anak tidak pernah merasa puas sehingga akan terus bertanya dan bertanya. Apabila dicermati secara seksama, pertanyaan-pertanyaan itu tampil dalam bentuknya yang sangat obyektif. Ini membuktikan lurusnya logika berpikir yang digunakan. Pola berpikir anak yang demikian, dalam perkembangan selanjutnya, mengalami perubahan sampai ia tumbuh dewasa. Perubahan pola pikir ini berjalan selaras dengan perkembangan sosio-kultural atau sistem budaya yang mengitarinya.

Dengan memperhatikan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pola berpikir manusia menjadi sistem yang terbuka. Karena sifatnya yang terbuka, ditambah dengan karakter dasar manusia yang tidak pernah merasa puas, manusia mudah melakukan dialektika dengan sistem-sistem lain di luar dirinya, termasuk dengan sistem pengetahuan. Berbeda dengan seorang anak kecil, orang dewasa lebih bisa menentukan corak pemikiran yang dikehendaki. Berdasarkan kesadaran yang semakin tinggi dalam memahami fenomena dirinya dan lingkungannya, manusia dewasa merasa lebih leluasa dalam mengatasi perasaan tidak puasnya. Dalam konteks inilah, manusia mengembangkan potensinya, termasuk di dalamnya potensi berpikirnya, berfilsafat.

Ada statemen yang mengatakan bahwa belajar filsafat itu tidak perlu. Agak ironis kedengarannya. Apapun alasannya, berfilsafat merupakan pekerjaan berpikir manusia. Sepanjang manusia memiliki akal dan menggunakannya, selama itu pula manusia tengah berfilsafat. Kendati persoalan ini telah menjadi perdebatan panjang dalam sejarah, namun berfilsafat merupakan sesuatu yang inhern dalam kehidupan manusia. Mempelajari filsafat merupakan sebuah upaya menumbuhkan kesadaran tentang pemaknaan terhadap realitas dan hakikat terhadap kompleksitas kehidupan yang multi-rumit. Disamping juga bertujuan untuk mengetahui dan meramalkan proses berpikir manusia dalam rentang kesejarahannya.

Dalam sejarah kita menyaksikan proses berpikir (baca: berfilsafat) manusia tampil dalam perdebatan panjang antara hati (agama) dan akal, yang dimulai pada jaman Yunani Kuno hingga jaman modern, bahkan sampai pasca-modern sekarang. Sejarah renaisance, pada saat manusia menjumpai momentumnya, menjadi bukti munculnya ilmu pengetahuan dan teknologi, yang hingga kini sulit dibendung perkembangannya. Maka tak pelak lagi perkembangan tersebut, disamping telah menciptakan kemajuan peradaban manusia, namun juga menimbulkan dampak yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. 

Dalam konteks inilah posisi agama, yang sejak lama telah dilalaikan karena terbuai kemajuan ilmu dan teknologi, menjadi penting. Manusia mulai merasakan ilmu dan teknologi semakin tidak mampu menjawab secara memadai berbagai tantangan jaman. Dengan arti lain, manusia sekarang mulai melirik agama untuk dijadikan paradigma alternatif dalam menghadapi modernitas. Di sinilah makna penting kehadiran agama. Secara epistimologis, agama telah merambah dan memasuki wilayah aksiologis ilmu pengetahuan. Apalagi bagi negara Indonesia, yang sebentar lagi memasuki era global yang kedatangannya tidak bisa ditawar-tawar lagi. Keberadaan agama menjadi mutlak karena, dengan nilai-nilai ajarannya, akan memberi nuansa baru bagi proses pemaknaan terhadap modernitas kehidupan manusia.

Ilmu dan teknologi yang diangung-agungkan para saintis selama ini, terlepas dari berbagai kontroversinya, diakui mempu membangkitkan kegairahan untuk manusia lebih realistis dalam melihat dunia. Namun karena sifat dasar manusia yang tidak pernah puas itu justru menjadikan manusia lalai dengan tujuan hidup dan keberadaan dirinya. Di sinilah agama menjumpai relevansinya. Dengan kegairahan yang baru ini manusia dituntut untuk dapat melihat relaitas lain dari apa yang telah diketahuinya. Agama, dengan sifat ajarannya yang selalu mandorong manusia, selain bersikap adil dan bijaksana, juga telah menyuguhkan wacana baru bagi perkembangan ilmu dan teknologi.

Dalam figura yang demikian, dimana agama menempati posisi sentral dalam setiap aspek kehidupan, upaya mengembangkan ilmu dan tekonologi mendapatkan ruhnya yang baru. Paradigma ini memicu kita untuk bersikap lebih bijaksana dalam segala hal, utamanya dalam menghadapi millennium ketiga mendatang. Spiritulitas baru ini, secara gradual, dapat ditumbuhkan dengan melibatkan semua komponen, baik indvidu maupun masyarakat. Hal mendasar yang harus segera dilakukan adalah menciptakan suasana yang kondusif agar proses itu dapat dilalui dengan baik. Suasana yang dimaksud adalah berkaitan dengan entitas total sistem dunia yang dipandang sebagai holistisitas realiatas kehidupan manusia yang tidak terpisah dengan dimensi trransedenetalnya. Baik itu sistem sosial-budaya, ekonomi, politik dan teknologi yang dilihat dalam kesatuan realitas alam yang secara idelaitas mengacu pada bentuk-bentuk keseimbangan.

Untuk mewujudkan opsesi di atas, terutama bagi kalangan generasi muda apalagi bagi kalangan mahasiswa, upaya yang harus segera dilakukan adalah berkaitan dengan pembentukan paradigma baru di kalangan mereka. Hal ini terkait dengan sistem pendidikan sekaligus perangkat metodolgisnya, yang diterapkan. Sistem yang merangsang dan mendorong generasi muda untuk memahami realitas kehidupan dengan pikiran logis, kritis, realistis, tanpa mereduksi nilai-nilai budaya dan agama yang terbukti mampu memberi pencerahan terhadap cara berpikirnya. Untuk tujuan ini, aspek yang perlu mendapat penekanan adalah perubahan secara simultan-evolutif sistem dan paradigma pemikiran individu dan masyarakat secara keseluruhan. Secara sosiologis, sistem sosial termasuk di dalamnya dengan unsur-unsurnya budaya dan teknologi, yang juga termasuk sistem pendidikannya, dicoba-arahkan sedemikian rupa sehingga memberi kontribusi bagi upaya transforamasi paradigmatik yang diinginkan.

Pertanyaan yang muncul kemudian, paradigma macam apa yang relevan dengan perkembangan dunia sekarang? Meski tidak mudah untuk menjawabnya, sepintas dapat diungkapkan bahwa paradigma yang dimaksud adalah sebuah cara pandang atas kesadaran terhadap watak dasar manusia yang selalu menginginkan perubahan-perubahan. Tegasnya, manusia harus sepenuhnya menyadari bahwa hidup manusia berlangsung dalam “kerangka proses” alias menjadi “manusia soliter.” Sebab, kemajuan peradaban manusia itu inheren dalam proses itu sendiri.

Tidak ada komentar: