1
Tujuan hidup manusia adalah menegaskan tauhid, Keesaan Allah (La ilaha illa Allah). Tidak lebih dan tidak kurang. Sesuatu hal yang sesuai dengan tujuan penciptaan itu sendiri, dimana Allah menciptakan makhluk tidak lain agar menyembah kepadaNya, atau menegaskan tauhid, seraya menegaskan bahwa hanya Dialah yang Haq, Yang Mahabenar dan Yang Nyata. Makna batin dari ayat “Agar menyembah kepadaKu semata” (QS.51:56) adalah “mengenal dan mengetahui diri-Ku”, kata sahabat Nabi, Ibn Abbas. Ekuivalen dengan sebuah hadis yang cukup kontroversial, “siapa yang mengenali dirinya sendiri maka dia mengenal Tuhannya”. Apa artinya ini?
1
1 = 1
Secara matematis tidak ada persoalan dengan ungkapan (1=1), dan ia dianggap sebagai suatu kebenaran umum. Lantas, apa yang dapat dipahami dari logika (1=1) ini dalam konteks ilmu tauhid. Salah satu ayat dalam Alquran yang mengacu pada logika ini adalah “Qul huwa Allâhu Ahad (Katakan, Allah adalah Satu/Esa)” (QS. 112:1). Hal ini cukup mudah dipahami. Kita bisa secara bergantian menerapkan atau memaknai angka (1) untuk menunjuk pada Allah, semisal Allah = (1), atau (1) = Allah. Jika kita menunjuk angka (1), baik di sebelah kanan atau kiri tanda (=), yakni Allah, maka Ia adalah Maha Esa. Artinya, selain yang (1), yaitu (2) atau lebih, adalah (=) selain/bukan Allah, atau sebaliknya. Jika yang (2) atau lebih itu dipaksakan sebagai tuhan (ilah atau sesembahan), maka pemaksaan ini segera ditolak dan dibantah melalui kalimat “Lâ ilâha (Tidak ada tuhan)” sebagai bentuk penafian (peniadaan), yang segera diafirmasi melalui kalimat “Illa Allâh (Kecuali Allah)”. Sebagaimana kita segera mengatakan salah secara matematis jika kita menuliskan (1=2) atau (2=1). Anakku juga tahu itu.
Kata “Allah” merupakan bentukan dari kata ilah dan artikel “al”. Dalam tata bahasa arab, artikel “al” memberikan arti tertentu yang sudah jelas untuk menunjuk benda atau hal yang diungkapkan sebuah kata. Seperti kata “the” dalam bahasa inggris. “Tertentu” dalam konteks ini adalah tuhan yang Satu (yaitu Allah) yang ditegaskan melalui ungkapan “Lâ ilâha illa Allâh”, bahwa ilâh yang sesungguhnya adalah ilâh yang menyandang artikel “al”, yakni al-ilâh atau Allah.
Kedua angka (1), yang berada di kiri dan kanan tanda (=), merupakan realitas yang sama. Keduanya adalah tak bisa dibedakan dan tak bisa dibandingkan sama sekali, karena keduanya adalah indentik, baik dalam esensi maupun karakteristiknya. Identik karena angka (1) di kiri pada hakikatnya adalah angka (1) di kanan. Karena itu, kita memiliki satu pengertian tentang Tuhan sebagai Dia dalam diriNya sendiri, (1) dalam (1). Pengertian ini mengandung implikasi, bahwa dalam diriNya sendiri Tuhan adalah tak terbedakan dan tak terbandingkan. Karena tak bisa dibedakan dan dibandingkan, maka Dia menjadi tidak terjangkau oleh, dan jauh dari, kita. Alquran mengambil sudut pandang ini, bahwa “Segala puji bagi Allah, Tuhan yang Tak Terjangkau, jauh di atas apa yang mereka sifatkan” (QS. 37:180), atau “Tak ada sesuatu pun serupa denganNya” (QS. 42:11, 112:4). Perspektif ini dalam ilmu teologi dikenal dengan istilah tanzih (ketakterbandingan).
Karena Dia tak terjangkau dan jauh, maka Dia pun tak bisa dikenali apalagi dipahami, sementara suatu pemahaman atau pengenalan membutuhkan adanya keterjangkauan dan kedekatan. Itulah sebabnya, Alquran mengemukakan sudut pandang lain yang menyiratkan adanya keterjangkauanNya oleh, dan kedekatanNya dengan, kita. “Ke manapun kamu menghadapkan wajahmu, di situ wajah Allah” (QS. 2:115), atau “Kami lebih dekat kepada manusia ketimbang urat lehernya sendiri” (QS. 50:16), atau “Dia mencintai mereka dan mereka mencintaiNya” (QS. 5:54). Sehingga melalui sudut pandang ini kita bisa memahami tauhid (“Allah adalah Satu” atau “Tidak ada tuhan kecuali Allah”) secara bermakna. Mengatakan Dia terjangkau dan dekat, sama artinya dengan mengatakan Dia dapat dibandingkan dan diserupakan atau disamakan, tetapi dalam tataran dan kualitas yang berbeda secara fundamental. Misalnya, Allah Maha Melihat, Allah Maha Mendengar dan Allah Maha Mengetahui. Jika dibandingkan dengan kita, kita pun bisa melihat, mendengar dan mengetahui, tetapi dalam tataran dan kualitas yang berbeda. Bahwa Tuhan dan kita sama-sama memiliki kualitas-kualitas itu adalah ya, tetapi dalam kualitas-kualitasnya yang harus dibedakan. Perspektif ini dikenal sebagai tasybih (penyerupaan).
Pengambilan dua sudut pandang (yang tampaknya kontradiktif) ini oleh Alquran pasti memiliki makna dan maksud tertentu, karena segala sesuatu yang berasal dari Tuhan tak ada yang sia-sia. Sebagaimana dikatakan sebelumnya, yakni agar tujuan penciptaan (bahwa setiap makhluk menyembah hanya kepadaNya) bisa kita pahami dan teraktualisasi. Seenggak-enggaknya, bagaimana kita bisa menjadi hamba yang baik, tanpa adanya pengetahuan tentangNya, tentang segala kehendak dan perintah-perintahNya?
1
1 = 1
1 = ½ + ½
(1=1) dapat kita ungkapkan dalam bentuk (logika) lain, misalnya (1=½+½) atau (1=2x½). Perubahan (1=1) menjadi (1=½+½) di sini menunjukkan adanya proses kreatif tertentu, yang diawali dengan adanya kehendak, sehingga perubahan itu bisa terjadi. Sebelum adanya perubahan kita tidak bisa memetik manfaat apa-apa darinya. Segera setelah perubahan itu terjadi segalanya menjadi jelas. Perubahan itu pada dasarnya adalah perubahan sudut pandang kita dari melihat Tuhan sebagai Yang Tak Terjangkau menjadi Tuhan sebagai yang bisa kita jangkau. Tuhan yang jauh menjadi Tuhan yang dekat dengan makhluk. Tuhan yang Tak Terbandingkan menjadi Tuhan yang bisa dibandingkan. Tuhan yang berbeda dengan makhluk menjadi Tuhan yang “serupa” dengan makhluk. Dengan kata lain, perubahan dari melihat Tuhan dalam diriNya sendiri (yang tak bisa dikenali dan dipahami) menjadi melihat Tuhan dalam hubungannya dengan segala ciptaan (sehingga bisa dikenali dan dipahami).
Logika (1=½+½) atau (1=2x½) memperlihatkan adanya berbagai pengertian dan bentuk-bentuk hubungan yang berbeda secara kualitatif dalam perspektif keterjangkauan atau kedekatan. Perspektif ini digunakan Alquran dalam konteks hubungannya dengan ciptaan, yang dibedakan dengan perspektif ketakterjangkauan atau kejauhan (semata-mata karena Dia dalam diriNya sendiri) yang mengesampingkan ciptaan.
Pertama, segala sesuatu di alam raya dan diri manusia adalah tanda-tandaNya. “Kami akan memperlihatkan tanda-tanda Kami di segenap cakrawala dan di dalam jiwa mereka sendiri, sampai jelas bagi mereka bahwa Dia adalah Mahabenar" (QS.41:53). Angka (1) pada kedua bilangan (½) di kanan tanda (=) memperlihatkan adanya persamaan dengan angka (1) yang berada di kiri tanda (=), yakni sama-sama angka (1), tetapi berbeda secara esensi dan kualitas. Angka (1) di kiri tanda (=) merupakan totalitas yang serba-meliputi, sementara dalam konteks ketunggalan (½+½), angka (1) di sini adalah spasialitas (bagian-bagian), yakni bagian dari bilangan (½) yang manapun, sekaligus bagian dari ketunggalan (½+½). Bila kita lebih cermat lagi, angka (1) itu juga menjadi bagian dari angka (2) yang manapun dalam angka (½) yang manapun. Karenanya, (1=½+½) bisa kita maknai sebagai Tuhan yang Esa, (1) di kiri (=), memperlihatkan jejak-jejakNya (diriNya) melalui angka (1) pula pada kedua bilangan (½) atau di dalam kedua angka (2) pada bilangan (½) juga, (1/1+1), di segenap ciptaanNya, (½+½). Angka (1) tersebut merupakan jejak dari –dan menunjukkan “ada”nya– angka (1) di sisi kiri tanda (=), dalam mana ia tampak pada ketunggalan (½+½). Dengan ujaran lain, Tuhan memanifestasikan diriNya melalui tanda-tandaNya di segenap ciptaan. Jika (½+½) dimaknai sebagai ciptaan, bukankah itu berarti mengatakan Tuhan sama dengan ciptaan. Ya, dalam tataran dan kualitas yang berbeda secara mendasar, sebagaimana telah disebutkan. Yakni, sama dalam konteks totalitas tanda-tandaNya di segenap ciptaan. Selamanya kita akan tetap mengatakan angka (1) sebagai “satu” sepertinya hal kita mengatakan ketunggalan (½+½) dan lainnya juga kita sebut “satu”. Singkat kata, berapapun angka atau bilangan yang kita sebutkan, betapapun itu tak terhingga, pada hakikatnya kita mengatakan “satu”, “satu” dan “satu” yang dihubung-hubungkan melalui berbagai cara atau sudut pandang. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi... itu adalah tanda-tanda untuk orang yang berpikir” (QS.2:164).
Hanya melalui jejak-jejak atau tanda-tandaNya sajalah kita bisa mengetahui dan mengenali Tuhan. Dalam logita (1=1) kita tidak mendapatkan pengetahuan apapun. Tetapi, melalui keterjangkauan dan kedekatan kita bisa mengenal Tuhan Yang Tak Terjangkau dan Yang Tak Terbedakan itu melalui persamaan, penyerupaan. Yakni, salah satu angka (1) pada (1=1) disamakan dengan ketunggalan (½+½), maka angka (1) lainnya bisa diketahui, sebagai yang dapat kita lihat dalam (1=½+½). Atau melalui perbandingan, dengan membandingkan (1) dengan (½+½) menjadi (1:[½+½]) hasil (1) diperoleh. Itulah sebabnya, hadis “barang siapa yang mengenali jiwa (diri)nya maka dia mengenal Tuhannya” menjadi relevan.
Kedua, Tuhan menciptakan makhluk dalam keadaan berpasang-pasangan. “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah” (QS.51:49). “Dan yang menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi” (QS.43:12). “Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui” (QS.36:36). “Di dalam kedua surga itu terdapat segala macam buah-buahan yang berpasangan” (QS.55:52). Perintahkan Tuhan kepada Nabi Nuh, “Muatkanlah ke dalam bahtera itu pasangan dari setiap jenis” (QS.11:40). Masih banyak ayat yang menyinggung masalah ini. Ditambah lagi, pasangan (segala ciptaan Allah) itu berhubungan dengan realitasnya sebagai manifestasi tanda-tanda kebesaranNya. “Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan (jantan-betina, pahit-manis, putih-hitam, besar-kecil dan sebagainya), Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” (QS.13:3).
Dalam dunia ciptaan, (½+½), segalanya diciptakan secara berpasangan, tidak lain adalah untuk memperlihatkan keharmonisannya sendiri, bahwa ia berasal dari Yang Masa Harmonis (Sempurna). Maka kita dapat melihat, bahwa dalam ketunggalan (½+½), bilangan (½) berpasangan dengan (½) lainnya agar tercipta keharmonisan sebagai pasangan yang tunggal, sebagai manifestasi dari Yang Maha Esa (1). Sebagai karya dari Yang Maha Esa, ciptaan adalah sempurna dalam konteks totalitasnya.
Pernyataan bahwa segala sesuatu diciptakan berpasang-pasangan bukan tanpa makna sama sekali, karena ia berasal dari Yang Haq. Dan segala sesuatu yang berasal dari yang Haq tentu mengandung makna, hikmah atau tujuan. Umpama, kita mengetahui sebuah benda berada di atas karena ada benda lain (sebagai pembanding) yang berada di bawah. Dalam banyak hal seringkali posisi kita sendiri yang bertindak sebagai pembanding. Sebuah ruangan kita katakan gelap karena ketiadaan cahaya (pembanding yang menyebabkan terang) di ruangan itu. Kita menyebut salah satu tangan kita kiri karena tangan kita yang lain kita sebut kanan. Itulah makna berpasang-pasangan yang diatributkan pada setiap ciptaan, tidak lain untuk memberitahukan kepada kita tentang makna tanda-tanda kebesaranNya. Tanpa adanya pasangan kita tidak bisa mengatakan apa-apa, sesuatu itu tidak bermakna apa-apa atau tidak bisa dipahami. Tegasnya, setiap realitas (atau hal) hanya bisa dipahami melalui pasangannya atau keterkaitan dengan yang lainnya. Segala sesuatu menjadi jelas melalui kebalikannya.
Makna dari berpasang-pasangan itu sendiri menunjukkan adanya hubungan (nisbah) antara satu realitas yang dipasangkan dengan realitas lainnya. Dan sifat dari hubungan itu adalah kualitatif-komplementer: polar. Bilangan (½) dalam ketunggalan (½+½) dihubungkan dengan bilangan (½) lainnya dengan tanda (+) sehingga mencerminkan adanya (1). Tanda (+) yang menghubungkan kedua bilangan (½) melahirkan makna tertentu yang, dalam konteks tauhid, bersifat polar. Tidak terlalu sulit mengetahui adanya hubungan itu. Kegelapan itu menjadi ada (diketahui) karena berhubungan dengan ketiadaan (tidak hadirnya) cahaya. Sebaliknya, terang bisa diketahui karena dihubungkan dengan hadirnya cahaya yang menutup kegelapan. Jadi, terang membutuhkan adanya syarat (pasangan), yaitu kegelapan (sebagai yang tertutup oleh cahaya). (Ada dan tiadanya) cahaya menghubungkan antara terang dan gelap. Kenyang dan lapar menjadi masuk akal lantaran berhubungan dengan ada dan tiadanya makanan di dalam perut. Adanya hubungan dan sesuatu yang bertindak sebagai agennya menjadi titik tolak yang penting bagi, atau lantaran pengaruhnya terhadap, eksistensi dari setiap pasangan. Karena hubungan bersifat saling melengkapi, maka dua hal pada setiap pasangan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama.
Secara kualitatif, keadaan saling berpasangan itu inhern melekat pada setiap ciptaan (segala sesuatu selain Allah). Ekuivalen dengan mengatakan kualitas-kualitas (yang saling berpasangan) itu dimiliki setiap ciptaan. Lebih jauh lagi, kualitas-kualitas itu merupakan cerminan dari sifat-sifat yang Maha Pencipta, yang dari mana sumbernya berasal dari nama-nama dari yang Maha Pencipta itu sendiri. Dengan begitu, kita bisa mengatakan bahwa Tuhan memanifestasikan diriNya melalui nama-namaNya pada setiap ciptaan, yakni pada alam semesta (‘alam kabir) dan pada manusia (‘alam shaghir). Pada alam semesta secara keseluruhan, termasuk di dalamnya manusia, Tuhan memanifestasikan diriNya seluruh nama-nama. Tetapi pada alam semesta secara parsial, tidak termasuk manusia di dalamnya, hanya sebagian nama-nama.
Hubungan nama-nama pada alam semesta secara keseluruhan bersifat statis (dalam keadaan seimbang), sedangkan apabila melibatkan manusia di dalamnya hubungan itu menjadi dinamis (bisa seimbang, bisa tidak). Sebab, pada manusia Tuhan memanifestasikan seluruh nama-nama, “Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya” (QS.2:31), yakni termasuk kebebasan atau kehendak (yang diwakili akal) yang tidak termanifestasikan pada ciptaan selain manusia. Segera bisa dipahami, keunikan manusia adalah dalam hal ia berpotensi untuk menjadikan hubungan di antara nama-nama itu dinamis, bisa seimbang atau tidak seimbang. Dengan kebebasannya yang dikendalikan oleh “petunjuk”, manusia bisa mengembalikan keseimbangan alam pada posisinya semula. Tanpa peranan petunjuk ia hanya akan membuat kerusakan. Hanya manusia yang mampu mengemban amanat menegakkan keseimbangan ini, tetapi sekaligus yang bisa merusaknya.
Ketiga, sampai sejauh yang sudah dipaparkan, kita mengetahui hubungan antara Tuhan dan ciptaan berlangsung melalui prinsip-prinsip yang “pasti”. Tuhan adalah Yang Haq, maka apa-apa yang datang dari Yang Haq tentu benar dalam kepastiannya. Prinsip-prinsip itu kita kenal dengan keseimbangan yang berkenaan dengan sifat-sifat hubungan itu sendiri. Secara umum, prinsip ini dikenal sebagai prinsip aktif dan reseptif, yang mempengaruhi dan yang menerima pengaruh. Prinsip ini bergerak dalam tataran hubungan-hubungan yang bersifat vertikal (turun-naik) dan horizontal (kiri-kanan). Hubungan vertikal berkaitan dengan gerakan menurun dari kesatuan (totalitas) menuju kemajemukan (bagian-bagian) dalam proses penciptaan, dan menaik dari kemajemukan menuju kesatuan dalam proses “kembali” (ma’ad)nya ciptaan kepada Tuhan. Sedangkan hubungan horizontal berkaitan dengan gerakan menyebar yang membentuk hubungan-hubungan polar yakni penyebaran oleh bagian-bagian atau pasangan-pasangan yang saling melengkapi. Hubungan vertikal berkaitan dengan dunia “perintah petunjuk”, sedangkan hubungan horizonal berkaitan dengan dunia “perintah penciptaan”.
Kita lihat ilustrasi matematis di atas, dari esensi angka (1) bergerak turun, yang disertai penyebaran, ke dunia “makna” menjadi (1=1). Kemudian turun dan menyebar lagi ke dunia dominion (ruh) menjadi (1=½+½), dan seterusnya hingga ke dunia “kerajaan” (materi/badan), dunia mana gumpalan tanah di“olah” oleh “kedua-tangan” Tuhan menjadi badan Adam (QS.38:75). Adam turun dan menyebar dari dunia ruh atau dunia kesatuan atau dunia “yang lebih tinggi” ke tempat yang paling rendah di dunia badan atau dunia kemajemukan atau dunia “yang lebih rendah”. Sampainya Adam di tempat yang paling rendah inilah sering kita menyebutnya “kejatuhan Adam”, “Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dalam sebaik-baiknya bentuk acuan. Kemudian Kami menurunkannya ke tempat serendah-rendahnya” (QS.95:4-5). Itulah kita, manusia. Dalam “kondisi kejatuhan” inilah potensi (baca: kebebasan) kita berbicara untuk mengatakan tunduk atau tidak tunduk kepada perintah petunjuk.
Sementara, proses menyebar itu berkaitan dengan manifestasi dari nama-nama atau tanda-tanda Tuhan dalam ciptaan. Lihatlah gunung-gunung dan lautan, dari kejauhan mereka begitu indah membiru berselimutkan panorama. Cobalah mendekat, daki gunung itu atau berenang di laut itu, maka mereka tak lagi indah, tetapi kita justru merasakan keagungannya dan takjub bahkan takut akan kedasyatannya. Itulah dua cara Tuhan menampakkan diriNya sebagai Yang Haq (baca: Yang Nyata) dalam ciptaan, bahwa Dialah Yang Maha Indah dan Yang Maha Agung, pasangan nama yang menunjukkan keindahan dan keagunganNya.
Kembali pada (1=1). Jika kita menyebut-nyebut yang (1) di kanan sebagai Maha Pengasih (al-Rahman) atau Maha Penyayang (al-Rahim), (1) = Maha Pengasih atau (1) = Maha Penyayang, itupun... hugh, capek juga kawan! to be continued aja dech... Selamat “menyapa” Tuhan dalam semesta dan dirimu sendiri!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar