Rabu, 29 Desember 2010

Kesadaran Perenis

Sepanjang sejarah kehidupan manusia, persoalan mendasar yang kerapkali muncul dan selalu hadir dalam setiap sudut sanubari ialah ketika manusia dihadapkan pada persoalan-persoalan tentang siapakah dirinya, dari mana ia berasal, apakah ada kekuatan-kekuatan lain di luar dirinya, mengapa ia harus eksis di dunia ini dan berkolaborasi dengan alam, dan sebagainya. Selama berabad-abad pula, sejak manusia hadir ke alam dunia ini, sesungguhnya persoalan-persoalan tersebut merupakan sebuah upaya hati (spiritual) sekaligus intelektual (kefilsafatan) dalam mencari hakikat eksistensi dirinya.

Dalam sudut pandang realis-empiris, barangkali upaya tersebut dilakukan dengan dan melalui pengalaman spiritual yang pernah dialami manusia pada tataran individual dalam melakukan refleksi terhadap realitas kehidupan. Lebih tampak tatkala manusia melakukan kontemplasi atau perenungan tentang hakikat keberadaannya dengan mencoba menggali dan memahami makna kehadirannya di dunia ini dan proses dialektikanya dengan sejarah. Kegiatan ini dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang makna intrinsik-esoteris sesuatu di balik yang nyata, seakan tengah melakukan “persetubuhan” dengan sesuatu yang dianggapnya ada namun tak terdefinisi.

Pengalaman-pengalaman itu memperlihatkan bahwa manusia memiliki sifat ketergantungan teologis kepada sesuatu atau kekuatan di luar dirinya, dimana sesuatu atau kekuatan itu dirasakan senantiasa memonitor dan mengendalikan setiap perilakunya. Adalah dapat dimengerti apabila manusia selalu dilingkupi kecemasan teologis yang mengusik, dalam pengertian mempertanyakan apa atau siapa yang berada di balik semua itu, dan bagaimana semuanya dapat berproses.

Setidaknya, dapat diungkapkan bahwa pengalaman-pengalaman yang diperoleh melalui kegiatan atau ibadah ritual keagamaan, seperti shalat, puasa, haji (hubungan fertikal dengan sesuatu yang dianggap memiliki kekuatan itu, Tuhan) atau dalam bentuk aktifitas sosial, pergaulannya dengan sesamanya dan alam dalam berbagai macam bentuk (hubungan horisontal antar sesama makhluk), memunculkan obsesi manusia untuk mencari, dan terus mencari, Tuhannya.

Shalat, misalnya, adalah bentuk ibadah ritual yang diwajibkan kepada seluruh Muslim untuk pendekatan dan perwujudan rasa penghambaan kepada Tuhan Allah, di mana setiap gerak-geriknya diyakini sebagai mempunyai implikasi spiritual dalam menuju kepada-Nya dan terhadap pembentukan watak sosial manusia. Shalat merupakan jenis pengalaman yang sangat unik ketika manusia dengan penuh kepatuhan menjalankannya se-kusyu’ mungkin. Manusia mencoba untuk melakukan penggambaran akan bentuk zat yang sedang diajaknya “berbicara” itu. Pengilustrasian itu meliputi ragam-macam bentuk dan sering kali berganti-ganti. Sebagai contoh, dengan mengilustrasikan sebagai sosok yang sedang duduk di atas singgasana dengan gagahnya; sebagai seberkas cahaya yang menyejukkan bahkan menyilaukan tapi menimbulkan kenikmatan; pun kadang-kadang dilihat seperti sesuatu yang mendekam dalam hati, menyelimuti dan mengalir di segenap darah dan nadi; atau ujud yang sukar disebutkan namun dapat dibayangkan, yang melingkupi seluruh isi alam.

Maka sesungguhnya, sebagaimana yang dipahamkan dan dihayatkan kepada manusia beriman bahwa kegiatan pemfisualisasian manusia tentang zat Yang Wajib Ada dalam bentuk apapun merupakan proses perenungan yang dilampaui manusia dan, sebagian teolog menganggap, bersifat alamiah sepanjang ia dipahami sebagai kerangka proses disertai keyakinan bahwa bentuk-bentuk itu bukanlah hakikat sebenarnya, tetapi hanya produk intelektual belaka.

Mengatasi pemahaman di atas, sesungguhnya persoalan yang lebih substantif adalah bagaimana manusia berupaya mencapai satu titik kesadaran teologis yang bercorak perenis-esoteris, dimana Tuhan dimaknai sebagai realitas yang benar-benar ada, namun intelektualitas manusia tidak dapat menjangkau kebenaran mutlak itu. Sesungguhnya kebenaran hakiki hanya dalam genggaman-Nya.

Senin, 27 Desember 2010

Teologi Toleransi Penuh

Banyak kalangan Muslim meyakini bahwa Islam telah memberikan aturan-aturan khusus bagaimana mereka seharusnya bersikap terhadap pemeluk agama lain, dan tidak sedikit yang memandang bahwa Islam tidak memberikan patokan tertentu yang mengatur hubungan Muslim dan non-Muslim, akan tetapi hanya menawarkan norma-norma yang dilihat secara lebih substantif dan masih memerlukan penggalian ­ijtihad. Namun keduanya memiliki asumsi yang sama tentang sejarah kaum Muslim yang dinilai lebih toleran dibanding sistem-sistem kepercayaan lain.

Tanpa mengurangi apresiasi terhadap romantisme Muslim tersebut, sesungguhnya antara “Islam Teoritis” dan “Islam Praksis” terdapat distingsi (kesenjangan) sangat tajam. Kalau tidak, bagaimana sejarah mencatat konflik-konflik yang dipenuhi ketegangan politis, ideologis, bahkan teologis keduanya tetap memenuhi wacana keagamaan hingga kini, yang merupakan indikasi belum adanya kesepakatan, dan kesatuan arah dan persepsi antar umat beragama untuk menciptakan sebuah harmonisitas kehidupan beragama, sehingga agama-agama tersebut dapat hidup berdampingan secara damai? Kalau bukan umat Islam sendiri yang harus bertanggung jawab atas persoalan ini, dalam pengertian mengajak umat agama-agama lain untuk berdialog dan mencari kesatuan persepsi tentang pluralitas dan realitas agama-agama, lantas siapa?

Persoalan-persoalan di atas kendati bukanlah sesuatu yang baru tetapi karena begitu mendasarnya, setidaknya kaum Muslim harus tanggap terhadap permasalahan tersebut. Kaum muslim harus secara jujur memberikan pemahaman mengenai agamanya sendiri karena tidak semua orang dapat dengan mudah memahami makna intrinsik-esoterik dari agama yang bukan menjadi kepercayaannya. Demikian pula kaum Muslim laiknya lebih berbesar hati dan berani bersikap lebih terbuka menerima kehadiran agama lain di sisi mereka, karena telah menjadi kenyataan obyektif yang tidak bisa tawar-tawar lagi.
Agama Islam memperkenalkan beberapa konsep dasar yang dapat mendukung upaya mendirikan bangunan teologi toleransi secara kokoh. Prinsip yang paling kuat mengakar di dalam pemikiran Islam adalah keyakinan manusia terhadap agama fitrah dan kebaikan manusia merupakan satu hal yang alamiah dari prinsip ini. Derifasi prinsip ini mencuatkan nilai-nilai humanitas bercorak implikatif di mana manusia sadar bahwa ia merupakan produk penciptaan yang memiliki sifat terikat total secara teologis (tauhid) pada Sang Khaliq. Nilai-nilai seperti: kebebasan dan tidak ada paksaan dalam beragama, persamaan dan penghormatan yang bersifat alamiah bagi semua umat beragama, dan sejenisnya yang lahir dari dan melalui prinsip tersebut, akan menjadi landasan teologis bagi toleransi ke arah kosmopolisme ajaran yang sesuai watak ilahiahnya.

Agama menjadi fitrah manusia terhadap hakikat Yang Wujud yang benar-benar diakui eksistensinya oleh seorang yang beriman. Pengakuan manusia terhadap Tuhan ini dilakukan melalui pendasaran, menurut mufasir Baidawi, perjanjian moral yang disepakati manusia pertama (Adam) dan keturunannya dengan Tuhannya. Ikatan batin yang tercetus dari perjanjian itu menampakkan, ke dan dari dirinya sendiri, suatu identitas kemanusiaan pada dua entitas yang bercorak material dan spiritual. Pemenuhan terhadap keduanya menjelma ke dalam realitas obyektif perilaku. Di atas semua itu kesadaran teologis-perenis merupakan parameter tersendiri untuk melihat bagaimana manusia melakukan hubungan dengan alam dan sesamanya.

Kesadaran beragama dalam konteks Islam jauh melampaui perilaku itu sendiri dan bersifat iluminatif bukan sekedar melalui penalaran terbatas belaka. Dan kesadaran bahwa ada entitas-entitas agama lain di luar Islam tidaklah berpola dikotomis. Hubungan logis antara dua kesadaran itu membentuk kerangka kesadaran baru yang erat kaitannya dengan watak penciptaan manusia. Tuhan, umat agama yang satu, dan umat agama yang lainnya adalah kenyataan obyektif yang melukiskan hubungan transenden. Mendahului semua itu sesung-guhnya kesadaran tersebutlah yang kini telah hilang entah ke mana.

Banyak orang yang menganut pandangan bahwa Kebenaran Mutlak (The Truth) hanya satu dan dari yang satu ini memancar berbagai cahaya kebenaran sebagaimana matahari yang secara niscaya memancarkan cahayanya. Hakikat cahaya adalah satu dan tanpa warna tetapi spektrum kilatannya ditangkap oleh manusia dalam kesan yang beraneka warna. Maksudnya, kendati hanya ada satu hakikat agama yang benar maka terukir melalui sejarah pluralisme dan partikularisme bentuk dan bahasa agama, karena agama muncul dalam ruang dan waktu secara simultan. Pesan kebenaran yang absolut itu berpartisipasi dan bersimbiose dalam dialektika sejarah. Maka tidak dapat dielakkan bentuk dan bahasa keagamaan bergumul dengan nilai-nilai budaya tertentu, yang pada gilirannya melahirkan komunitas-komunitas keagamaaan dengan segala implikasinya.

Dalam acuan inilah mendiskusikan masalah-masalah pluralitas agama dan upaya melakukan studi, bukan saja terhadap agama sendiri melainkan juga melakukan kritik komparatif dan apresiatif terhadap agama orang lain, adalah signifikan. Upaya mendialogkan persoalan tersebut harus menjadi pekerjaan bersama Muslim untuk mewujudkan sebuah teologi toleransi yang memadai. Mampukah?

Kamis, 23 Desember 2010

Manusia Soliter

Orang-orang bijak bilang, manusia tidak akan puas dengan segala sesuatu yang pernah diketahuinya. Pendapat ini agaknya mudah diterima. Karena memang tidak ada standar yang pasti tentang batasan kepuasan itu. Manusia boleh merasa puas terhadap pengetahuan yang dimiliki, namun kepuasan itu tidak akan bertahan lama. Masih tersimpan dalam memori kita betapa seorang anak kecil tidak henti-hentinya melontarkan bermacam pertanyaan, yang kadang kala tidak rasional, mengenai lingkungan sekitar. Seorang anak tidak pernah merasa puas sehingga akan terus bertanya dan bertanya. Apabila dicermati secara seksama, pertanyaan-pertanyaan itu tampil dalam bentuknya yang sangat obyektif. Ini membuktikan lurusnya logika berpikir yang digunakan. Pola berpikir anak yang demikian, dalam perkembangan selanjutnya, mengalami perubahan sampai ia tumbuh dewasa. Perubahan pola pikir ini berjalan selaras dengan perkembangan sosio-kultural atau sistem budaya yang mengitarinya.

Dengan memperhatikan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pola berpikir manusia menjadi sistem yang terbuka. Karena sifatnya yang terbuka, ditambah dengan karakter dasar manusia yang tidak pernah merasa puas, manusia mudah melakukan dialektika dengan sistem-sistem lain di luar dirinya, termasuk dengan sistem pengetahuan. Berbeda dengan seorang anak kecil, orang dewasa lebih bisa menentukan corak pemikiran yang dikehendaki. Berdasarkan kesadaran yang semakin tinggi dalam memahami fenomena dirinya dan lingkungannya, manusia dewasa merasa lebih leluasa dalam mengatasi perasaan tidak puasnya. Dalam konteks inilah, manusia mengembangkan potensinya, termasuk di dalamnya potensi berpikirnya, berfilsafat.

Ada statemen yang mengatakan bahwa belajar filsafat itu tidak perlu. Agak ironis kedengarannya. Apapun alasannya, berfilsafat merupakan pekerjaan berpikir manusia. Sepanjang manusia memiliki akal dan menggunakannya, selama itu pula manusia tengah berfilsafat. Kendati persoalan ini telah menjadi perdebatan panjang dalam sejarah, namun berfilsafat merupakan sesuatu yang inhern dalam kehidupan manusia. Mempelajari filsafat merupakan sebuah upaya menumbuhkan kesadaran tentang pemaknaan terhadap realitas dan hakikat terhadap kompleksitas kehidupan yang multi-rumit. Disamping juga bertujuan untuk mengetahui dan meramalkan proses berpikir manusia dalam rentang kesejarahannya.

Dalam sejarah kita menyaksikan proses berpikir (baca: berfilsafat) manusia tampil dalam perdebatan panjang antara hati (agama) dan akal, yang dimulai pada jaman Yunani Kuno hingga jaman modern, bahkan sampai pasca-modern sekarang. Sejarah renaisance, pada saat manusia menjumpai momentumnya, menjadi bukti munculnya ilmu pengetahuan dan teknologi, yang hingga kini sulit dibendung perkembangannya. Maka tak pelak lagi perkembangan tersebut, disamping telah menciptakan kemajuan peradaban manusia, namun juga menimbulkan dampak yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. 

Dalam konteks inilah posisi agama, yang sejak lama telah dilalaikan karena terbuai kemajuan ilmu dan teknologi, menjadi penting. Manusia mulai merasakan ilmu dan teknologi semakin tidak mampu menjawab secara memadai berbagai tantangan jaman. Dengan arti lain, manusia sekarang mulai melirik agama untuk dijadikan paradigma alternatif dalam menghadapi modernitas. Di sinilah makna penting kehadiran agama. Secara epistimologis, agama telah merambah dan memasuki wilayah aksiologis ilmu pengetahuan. Apalagi bagi negara Indonesia, yang sebentar lagi memasuki era global yang kedatangannya tidak bisa ditawar-tawar lagi. Keberadaan agama menjadi mutlak karena, dengan nilai-nilai ajarannya, akan memberi nuansa baru bagi proses pemaknaan terhadap modernitas kehidupan manusia.

Ilmu dan teknologi yang diangung-agungkan para saintis selama ini, terlepas dari berbagai kontroversinya, diakui mempu membangkitkan kegairahan untuk manusia lebih realistis dalam melihat dunia. Namun karena sifat dasar manusia yang tidak pernah puas itu justru menjadikan manusia lalai dengan tujuan hidup dan keberadaan dirinya. Di sinilah agama menjumpai relevansinya. Dengan kegairahan yang baru ini manusia dituntut untuk dapat melihat relaitas lain dari apa yang telah diketahuinya. Agama, dengan sifat ajarannya yang selalu mandorong manusia, selain bersikap adil dan bijaksana, juga telah menyuguhkan wacana baru bagi perkembangan ilmu dan teknologi.

Dalam figura yang demikian, dimana agama menempati posisi sentral dalam setiap aspek kehidupan, upaya mengembangkan ilmu dan tekonologi mendapatkan ruhnya yang baru. Paradigma ini memicu kita untuk bersikap lebih bijaksana dalam segala hal, utamanya dalam menghadapi millennium ketiga mendatang. Spiritulitas baru ini, secara gradual, dapat ditumbuhkan dengan melibatkan semua komponen, baik indvidu maupun masyarakat. Hal mendasar yang harus segera dilakukan adalah menciptakan suasana yang kondusif agar proses itu dapat dilalui dengan baik. Suasana yang dimaksud adalah berkaitan dengan entitas total sistem dunia yang dipandang sebagai holistisitas realiatas kehidupan manusia yang tidak terpisah dengan dimensi trransedenetalnya. Baik itu sistem sosial-budaya, ekonomi, politik dan teknologi yang dilihat dalam kesatuan realitas alam yang secara idelaitas mengacu pada bentuk-bentuk keseimbangan.

Untuk mewujudkan opsesi di atas, terutama bagi kalangan generasi muda apalagi bagi kalangan mahasiswa, upaya yang harus segera dilakukan adalah berkaitan dengan pembentukan paradigma baru di kalangan mereka. Hal ini terkait dengan sistem pendidikan sekaligus perangkat metodolgisnya, yang diterapkan. Sistem yang merangsang dan mendorong generasi muda untuk memahami realitas kehidupan dengan pikiran logis, kritis, realistis, tanpa mereduksi nilai-nilai budaya dan agama yang terbukti mampu memberi pencerahan terhadap cara berpikirnya. Untuk tujuan ini, aspek yang perlu mendapat penekanan adalah perubahan secara simultan-evolutif sistem dan paradigma pemikiran individu dan masyarakat secara keseluruhan. Secara sosiologis, sistem sosial termasuk di dalamnya dengan unsur-unsurnya budaya dan teknologi, yang juga termasuk sistem pendidikannya, dicoba-arahkan sedemikian rupa sehingga memberi kontribusi bagi upaya transforamasi paradigmatik yang diinginkan.

Pertanyaan yang muncul kemudian, paradigma macam apa yang relevan dengan perkembangan dunia sekarang? Meski tidak mudah untuk menjawabnya, sepintas dapat diungkapkan bahwa paradigma yang dimaksud adalah sebuah cara pandang atas kesadaran terhadap watak dasar manusia yang selalu menginginkan perubahan-perubahan. Tegasnya, manusia harus sepenuhnya menyadari bahwa hidup manusia berlangsung dalam “kerangka proses” alias menjadi “manusia soliter.” Sebab, kemajuan peradaban manusia itu inheren dalam proses itu sendiri.

Kembali

Ku ingin berjumpa denganMu. Menatap dan memelukMu penuh erat dan takkan pernah lagi terlepaskan. Hingga kapanpun dalam keabadian. Engkau adalah sahabat dan kekasih yang telah lama hilang. Sejak Engkau menghembuskan ruhMu ke dalam ragaku dan memberi kehidupan alam fana kepadaku, saat itu pula aku berpisah denganMu. Perpisahan itu menjadi berkah, karena Engkau telah berikan aku kesempatan untuk nikmati kemegahan ciptaanMu yang lain. Tetapi, perpisahan itu sekaligus menjadi ujian, karena Engkau menginginkan agar aku memberi bukti kesetiaan padaMu. Selama jauh dariMu, aku membuktikan diriku sebagai seorang penghianat nomor wahid. Aku telah melupakan bahwa aku pernah bersamaMu sampai perpisahan itu terjadi. Bahkan aku mengabaikan cindera mata yang paling berharga yang Ia pernah berikan kepadaku, sebagai tanda cinta agar aku bisa selalu mengingatMu kapanpun. Tetapi kini, aku mulai merindukanMu kembali. Ingin bersamaMu lagi dalam kenisbian ruang dan waktu.

Rabu, 22 Desember 2010

Muslim dan Tantang Global

Kita sering mendengar istilah “tantangan modern” atau “tantangan global,” suatu ungkapan yang banyak digunakan untuk menggambarkan kompleksitas persoalan yang dihadapi manusia modern, utamanya menghadapi millennium ketiga sekarang. Kompleksitas permasalahan tersebut tampak lebih nyata jika kita memperhatikan fenomena budaya masyarakat dunia sekarang. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tampaknya memang membawa kemanjuan di seluruh lini kehidupan. Namun tidak dapat dihindari pula, kemajuan-kemajuan itu juga yang membawa manusia menuju kehancurannya. Kondisi semacam ini sesungguhnya merupakan salah satu indikasi bahwa, sesuai dengan perjalanan waktu, manusia senantiasa dihadapkan pada “perubahan-perubahan” sistem dunia yang berlangsung sedemikian cepatnya. 

Akselerasi perubahan pada wilayah kebudayaan dan teknologi, misalnya, yang dapat diindikasikan melalui adanya perubahan-perubahan pada sistem sosial-politik dan ekonomi dunia, membawa dampak kepada tidak saja depresi dunia. Akan tetapi dapat pula sebaliknya, membangkitkan kesadaran umat manusia untuk berusaha mencari jabawan yang memadai atas persoalan-persoalan yang muncul. Belum lagi jika dihadapkan pada persoalan yang berkaitan dengan masalah ideologi. Persoalan ini sungguh sensitif terhadap konflik, yang berupa klaim kebenaran suatu ideologi atas ideologi lain. Apalagi jika ideologi tersebut dikaitkan dengan agama, maka persoalan akan menjadi semakin rumit dan sulit dijelaskan.

Uraian sederhana tersebut sesungguhnya ingin mengatakan bahwa manusia modern mendatang masih dihadapkan pada persoalan-persoalan sosial-kemanusiaan dan laju perkembangan teknologi yang sulit dibendung. Yang menyangkut persoalan demokrasi dan pelanggaran hak-hak asasi manusia, globalisasi dan pasar bebas (free-trade), hegemoni agama atas kebudayaan dan sebaliknya, dan lain sebagainya. Selain itu, harus berhadapan pula dengan masalah moralitas, sebagai penyebab terjadinya ekploitasi manusia atas manusia, juga ekploitasi besar-besaran dan penyelewengan sumber-sumber alam, sehingga semakin mempertajam keterpurukan manusia.

Dalam situasi yang demikian, jika kita menengok pada dinamika yang terjadi dalam masyarakat Islam, muncul sebuah pertanyaan yang sangat mendasar: apakah umat Islam, dengan seluruh warisan budayanya dan perangkat nilai-nilai ajarannya, mampu menghadapi tantangan modernitas yang semakin mengglobal? Berkaitan dengan ini, sesungguhnya memang telah menjadi pemikiran bersama kita bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjanjikan kondisi dan kehidupan yang lebih baik bagi umat manusia, akan tetapi pada perkembangan selanjutnya, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lagi dapat memberikan jawaban yang memadai terhadap perubahan jaman yang berlangsung tiada berhenti. Perkembangan masyarakat menuntut hal lain sehingga manusia secara berbondong-bondong mulai melirik agama sebagai alternatif-paradigmatis dalam menjawab tantangan modernitas. Dengan harapan agama dapat memberikan nuansa spiritual baru sehingga mampu melahirkan sebuah paradigma baru “akomodatif” terhadap perubahan.

Apabila dicermati secara seksama, kita mengingat kembali bagaimana kultur Barat telah melintasi dan mendominasi alam berpikir umat Islam, serta telah melampaui batas-batas peradaban Islam. Kita melihat bagaimana kultur Barat dengan ideologi sekularismenya mampu membentuk pola pikir dan pola tindak umat Islam yang cenderung dikotomis terhadap masalah “duniawiyah” vis a vis “ukhrawiyah.” Dalam konteks yang demikian yang dibutuhkan oleh umat Islam sesungguhnya adalah suatu kesadaran kolektif bahwa umat Islam memang tergolong terbelakang dalam soal-soal ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa adanya kesadaran ini barangkali akan sulit membuat peta permasalahan yang sesungguhnya, yang tengah melanda umat Islam. Namun jika umat Islam telah mengetahui pokok persoalan dan potensi yang dapat dikembangkan, tentu akan lebih mudah untuk mengetahui lebih jauh sejauhmana posisi umat Islam dalam percaturan perubahan global dunia.

Dengan kesadaran akan ketertinggalan tersebut, yang diharapkan kemudian adalah mencoba untuk bersama-sama merumuskan paradigma baru yang berlandaskan pada spitrit dan prinsip Islam. Dalam artian bahwa paradigma itu merupakan hasil dari dialektika sepanjang kesejarahan umat Islam, yang bercorak holistis dan integratif dalam cara memandang dunia. Atau dengan perkataan lain, sudah tidak relevan lagi bagi umat Islam untuk melihat kehidupan ini sebagai sesuatu yang terpisah dengan dimensi spiritual, sebagaimana yang pernah berkembang dalam peradaban Barat. 

Secara lebih jelas, barangkali dapat dikatakan bahwa paradigma yang dibutuhkan umat Islam adalah paradigma murni yang meliputi kesadaran terhadap hakikat dan eksistensi manusia sebagai delegasi Tuhan di bumi, dimana ia merupakan bagian integral dari hakikat penciptaan alam. Kesadaran mengenai hakikat Tuhan yang memberi ruh bagi kehidupan manusia dan alam, yang menciptakan kesatuan watak kebudayaan manusia. Pada tataran berikutnya, kesadaran ini muncul dalam bentuknya yang paling aktual dimana ia menjadi semacam “kesadaran murni” masyarakat Islam dalam bergelut dengan realitas kehidupan. Dalam bentuknya yang paling nyata merupakan upaya untuk membangkitkan sebuah gerakan-gerakan sosial yang, tanpa mengingkari adanya pluralitas, dibingkai dalam kesatuan budaya. 

Paradigma di atas barangkali mudah dipahami ketika kita mencoba untuk melihat bagaiamana proses modernisasi itu berlangsung dan berkembang. Sejarah telah menjelaskan bahwa umat Islam, sejak kelahirannya ketika Muhammad membangun sebuah masyarakat negara di Madinah hingga perkembangannya pada masa modern sekarang, baik itu negara-negara Islam maupun negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Kita juga menyaksikan umat Islam dalam rentang sejarahnya yang begitu panjang, telah membangun sebuah peradaban yang khas Islam, dimana umat Islam telah mampu menggoreskan sejarah emasnya hingga bahkan kehancurannya pada akhir masa Abbasiyah. Sampai kepada ketika umat bersinggungan secara langsung dengan peradaban Barat yang melahirkan peradaban modern.

Ketika umat Islam semakin inten melakukan dialog-dialog dengan kebudayaan di luar Islam, semakin dirasakan bahwa umat Islam adalah satu bagian dari masyarakat dunia yang tengah bergerak dalam proses perubahan. Dalam konteks yang demikian, dialog-dialog itu semakin perlu dipertajam sebagai upaya untuk bersama-sama dengan masyarakat (agama) lain dalam membangun sebuah paradigma baru yang dimaksud. Karenanya, kita sering mendengar munculnya istilah-istilah seperti “dialog-dialog kebudayaan,” “dialog agama-agama,” dan seterusnya. Hanya saja, persoalan yang muncul kemudian adalah bahwa dialog-dialog yang telah dilakukan masih belum dilakukan secara mendalam dan belum menyentuh kepada tataran kesadaran bersama umat manusia. Oleh sebab itu, kesadaran terhadap adanya perbedaan budaya merupakan poin utama dalam masalah ini.

Tantangan dunia modern mendatang semakin dipahami sebagai persoalan yang menjadi tuntutan bersama umat manusia, dimana umat Islam turut andil didalamnya. Ini mengandung pengertian bahwa paradigma kolektif umat manusia, dengan seluruh implikasinya, termasuk upaya dialog-dialog, pun menjadi tanggung jawab bersama umat manusia. Bagi umat Islam, upaya memciptakan sebuah paradigma baru tersebut masih sulit diwujudkan manakala umat Islam sendiri belum mampu menciptakan kesadaran bersama internal umat Islam mengenai persoalan-persoalan yang memicu perpecahan dunia Islam. Artinya, perdebatan mengenai, misalnya, Islam politik/negara versus politik Islam/negara, Islam idelogis (baca: struktural) versus Islam kultural dan semacamnya, sudah tidak relevan untuk dijadikan kambing hitam dalam membangun masyarakat “madani” dan “demokratis.” Persoalan-persoalan tersebut justeru menjadi pemicu bagi upaya menumbuhkan kesadaran akan perbedaan dan pluralitas pemikiran di kalangan umat Islam sendiri. Karena kesadaran yang sama akan menjadi semacam pra-syarat bagi umat Islam dalam memahami kebudayaan maupun sistem kepercayaan lain di luar Islam.

Mengacu pada pemikiran di atas, upaya dialog di kalangan umat Islam sendiri menjadi titik pijak yang penting untuk membangkitkan semangat “belajar bersama” dalam membina masyarakat yang dinamis, yang dapat memahami pluralitas. Upaya ini hanya dapat ditempuh manakala umat Islam mampu menciptakan sikap-sikap yang terbuka dan kooperatif tanpa mengedepankan kecurigaan-kecurigaan yang berlebihan. Apalagi dalam suasana dimana batas-batas negara semakin kabur, umat Islam mau tidak mau harus membuka peluang terhadap proses kulturisasi yang dipandang sejalan dengan sistem budaya yang dianut oleh suatu masyarakat Islam. Karenanya, paradigma yang mencerminkan adanya kesadaran dan pemahaman terhadap nilai-nilai universal Islam: prinsip-prinsip ketuhanan, keadilan, ukhuwah dan kerjasama menjadi hal yang patut diperhatikan.

Nilai-nilai universal yang dimaksud adalah dipahami sebagai nilai-nilai yang berlaku umum bagi keseluruhan umat manusia, dengan tidak disertai penilaian maupun klaim bahwa nilai-nilai yang dianut oleh agama-agama maupun kebudayaan bukan Islam seluruhnya adalah keliru. Disamping juga pemahaman terhadap nilai-nilai yang dianggap hanya dapat diterapkan pada masyarakat tertentu, bersifat partikulristik. Pandangan yang demikian, membawa umat Islam untuk tidak terjerembab ke dalam jebakan-jebakan dikotomis-figuratif terhadap perbedaan-perbedaan yang ada. Sehingga pertengkaran yang berkepanjangan dapat dihindari. Maka melalui pemahaman yang holistis dan integratif terhadap fenomena-fenomena tersebut akan penting artinya bagi umat Islam dalam menampilkan baik gagasan-gagasan Islam maupun kebudayaannya dalam konteks membangun universalitas kesadaran kolektif umat manusia.

Jika tidak, yang terjadi adalah umat manusia akan selalu merasakan kepenatan dunia yang penuh kegelisahan dan permusuhan. Sebagai bagian dari masyarakat dunia, kaum muslim memiliki tanggung jawab yang tidak ringan untuk selalu pengembangan pola berpikir dan bersikap yang sesuai dengan tuntutan jaman, dengan berpusat pada prinsip-prinsip Islam, dalam menghadapi tantangan modern. Pola pikir dan pola tindak yang sesuai dengan tuntutan jaman bukan dalam pengertian fragmatis semata, yang menggiring pada sifat-sifat ketergantungan terhadap “kecenderungan” jaman. Namun lebih mengacu, dengan berpusat pada “prinsip,” kepada kemampuan mengatur dan mengendalikan perubahan-perubahan dunia untuk upaya perdamaian dan kesejahteraan kehidupan umat manusia.

Dengan begitu, tantangan modern yang dihadapi umat Islam, yang ditandai dengan adanya semakin kabur dan tidak jelasnya batas-batas kultural, yang juga meliputi batas-batas negara-bangsa, bagaimanapun memaksa umat Islam untuk dapat bersikap lebih arif dan bijaksana. Maksudnya, umat Islam dituntut untuk lebih bersikap terbuka dan berusaha memahami “orang lain.” Karena, untuk melakukan “kerjasama kebudayaan” tidak ada alternatif lain kecuali dengan sikap-sikap memahami orang lain. Sementara upaya tersebut harus dilakukan dengan suatu pendekatan yang mengacu pada paradigma “kesadaran kolektif umat manusia,” yang didasarkan pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip universal Islam.

Selasa, 21 Desember 2010

Cahaya

Cahaya, dalam detik-detik kurenungkan
Kuhampiri kamu, dalam dirimu, kutangkap tanda-tandaNya
Kupikirkan kamu, melalui realitasmu, kusaksikan keindahanNya
Kubayangkan kamu, dengan sinarmu, kurasakan kehadiranNya
Kutatap wajahmu, bersama entitasmu, kunikmati kesejukan hembusanNya

Dalam detak-detak kurasakan
Kelelakianmu melingkupi kewanitaanmu, kewanitaanmu memiliki kelelakianmu
Kesempurnaan rajulmu melekat pada sifat nisamu, rajulmu pada nisamu
Maskulinmu merasukkan ruhullah ke dalam feminimmu, maskulinmu ke dalam feminimmu
Sebagaimana realitas Hawa dalam Adam, Adam pada Hawa
dan Isa dalam Maryam, Maryam pada Isa
Dua entitas yang terlahir dari dualistasNya, dalam kesatuan realitasNya
IradahNya telah merakit maskulinitas dan feminitasmu melalui dua tanganNya